Senin, 29 Juli 2013

Cerpen Dewasa

DI RUANG SEPI

Di Ruang Sepi

Seusai shalat Isya hingga hampir menjelang shubuh, Pak Anggoro seorang laki-laki berkepala empat masih membelalakkan mata ke layar laptop di ruang kerja pribadinya. Kalau sudah berkaitan dengan lembur yang mengharuskan bergulat di ruang kerja pribadinya, maka ia pastinya enggan untuk beranjak dari tempat. Bagaimana mungkin ia masih merasakan kebetahan dalam suasana ruangan yang nampak tidak seperti tahun-tahun sebelumnya? Padahal jauh di lubuk hatinya, ia merasakan kesepian yang terdalam bila memasuki jam lembur di ruang kerja pribadinya itu.
Mungkin saat ini ia merasakan kenikmatan mengerjakan tugas, tugas sebagaimana mestinya yang harus ia selesaikan sekaligus menjadi tanggung jawab atas kariermnya sebagai Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Cirebon, sampai tidak merasakan kesepian.
Telah lama jari jemarinya menari di atas keyboard hingga tak terasa jemari tangan kanannya spontan meraih sesuatu di samping kanan laptop.
Tersadarlah ia!
Tak ada apapun di beberapa senti dari samping kanan laptopnya itu, kecuali mendadak ada rasa kebekuan yang membuat seluruh tubuhnya kaku. Termasuk tangan kanannya yang semula ingin mengambil sesuatu, kini menjadi diam, tak bergerak. Suasana ruangan hening. Seketika rasa kesepian pun ikut hadir dan menyelinap cepat jauh ke dalam sanubarinya. Tentu saja, kenikmatan mengerjakan tugas hilang secara tiba-tiba. Ia menghela napas. Perlahan tangan kanannya coba meraba-raba meja agar kebekuan terpecahkan. Namun, tetap saja ia memaku kembali, malahan rasa sepi di hati tambah meradang.
Ia tertegun.
Ia merasa wajar pada keadaan yang kini tengah ia rasakan. Rasa sepi dan rindu tercampur menjadi satu.
Aku sangat merindukanmu, sayangku. Gumamnya dalam hati.
Sudah satu tahun lebih tiga Bulan, ia tidak ditemani oleh sang istri. Terbayang seperti apa rasa sepi dan rindu selalu merajalela ke hatinya. Sungguh menyiksa bathin. Apalagi ruang kerja pribadinya itu menyimpan kenangan manis tersendiri.
Di ruangan itulah, lebih dari cukup dari tanda kesetian serta pengabdian sang istri padanya benar-benar tak pernah terlupakan, sebelum sang istri meninggal. Semasa hidup sang istri, ia selalu ada untuknya, menemani pak Anggoro lembur, setia selalu di sampingnya. Sang istri pula lah selalu setia menjamukan wedang jahe hangat dan meletakkannya di samping kanan laptop Pak Anggoro. Wedang jahe buatan istrinya itu tiada duanya di dunia ini, terlebih lagi bila dicampur madu. Sangat menghangatkan tubuh. Dari jamuan wedang jahe, kadang terbesit ingin bersikap manja pada sang istri. Misalnya saja, ia bersikap spontan meraih cepat gelas cangkir ke dalam mulutnya, lalu ia berpura-pura terkejut merasakan kepanasan.
“Hati-hati dong, Kanda? Wedang jahenya kan, masih panas?” tukas sang istri sigap melap mulut Pak Anggoro dengan sapu tangan yang telah disediakan di samping gelas cangkir itu dengan lembut. Jelas-jelas tak ada ceceran air wedang jahe di mulut Pak Anggoro, malah ia nampaknya ingin memanjakan sang suami.
“Maaf, Dinda? Kanda kira wedang jahenya sudah hangat,” sahut Pak Anggoro, sikap manjanya berhasil menarik perhatian sang istri.
Panggilan Kanda-Dinda melekat pada diri mereka, diucapnya pun saat tidak di depan anak-anak.
“Ya, sudah…lain kali hati-hati. Tiup dulu sebelum menyeruput ya, Kanda.”
“Ya.”
Tidak hanya sikap manja pada saat di jamui wedang jahe saja, tapi saat situasi lain juga. Sebagai contoh, jika ia ingin menggodai sang istri, biasanya ia berpura-pura mengalami rasa pegal di daerah pundak, lantas jari jemarinya memijat-mijat bahu sendiri. Cari perhatian, begitu.
“Kenapa, Kanda? Pegal-pegal, ya?” tanya sang istri suatu ketika, “Sini biar Dinda saja yang pijit.”
“Boleh, yang enak, ya!” sahut Pak Anggoro sambil menarik napas lega karena berhasil. Baginya, bersama sang istri adalah anugerah tak ternilai. Termasuk kedekatannya seperti itu.
Sebenarnya Pak Anggoro tak tega kepada sang istri yang selalu menemaninya lembur di ruang kerja. Biarlah sang istri tidur saja di kamar. Namun, sang istri bersikukuh ingin ikut menemaninya. Katanya, sebagai kerja sampingan dalam berumah tangga. Yah, ia tak habis pikir mengapa istrinya mengatakan itu sebuah kerja sampingan. Apa mau dikata, Pak Anggoro tak punya pilihan lain, selain menyiakan permintaan sang istri itu. Toh, mengerjakan tugas hingga lembur begitu, Pak Anggoro menjadi bersemangat, tak mengeluh sedikitpun. Karena di temani sang istri, pastinya.
Ruang kerja pribadi Pak Anggoro adalah saksi bisu tentang istrinya. Ya itu dia tadi, kesetiaan dan pengabdiannya pada sang suami yang luar biasa.
Pak Anggoro tak pernah habis untuk berucap syukur pada Ilahi sudah dikaruniai seorang istri yang begitu mengerti atas tugas-tugas Pak anggoro yang sering kali diharuskan lembur. Dan ia berani menemani.
Biasanya, setelah menjamukan Pak Anggoro wedang jahe, sang istri menemani kedua purtinya nonton tv dahulu atau ia sampai menidurkan kedua putrinya yang sedang beranjak dewasa itu ke kamar mereka masing-masing sebelum kembali ke ruang kerja sang suami. Jika sudah kedua purtinya tertidur, barulah ia kembali menemui Pak Anggoro di ruang kerja pribadi. Ia lantas mengambil kursi kemudian menggeretnya ke samping kursi Pak Anggoro. Nah, selanjutnya yang dilakukan sang istri yaitu membaca buku. Namun, tak dipungkiri ia pun kadang menulis sebuah puisi apabila Pak Anggoro sedang menyelesaikan sebuah artikel untuk beberpa surat kabar, baik surat kabar lokal maupun Nasional. Maklum saja, ia selain seorang Dosen, ia pula merangkap pekerjaan menjadi freelancer.
Sang istri hanya menemani pak Anggoro dengan cara duduk di samping kursinya. Atau, biasanya sang istri duduk di sofa, kadang ia tertidur di situ.
Kerap Pak anggoro menangkap pemandangan sedap dilihat. Bahkan, sampai bercak kekaguman apa yang dilakukan oleh sang istri. Di pojok ruang kerja, tiap kali sang istri berada di ruangan itu, tiap kali ia sedang menemani Pak Anggoro lembur. Ia tak pernah lupa untuk melaksanakan shalat sunnah. Pemandangan sedap dilihat, bukan? Sayang, Pak anggoro tak menjadi imam di kala sang istri sedang shalat sunnah pada malam hari itu. Hanya memikirkan tugas-tugasnya saja. Akan tetapi, ia tetap mengimami sang istri dalam melakukan shalat sunnah apabila ia tak lembur. Terutama, shalat wajib, saat lembur atau tidak ia akan tetap mengimaminya dan dua buah hatinya.
Kehidupan Pak Anggoro nyaris sempurna dalam mengatur keluarga. Istri yang setia dan soleha. Serta dua putrinya yang penurut. Ya, meskipun sebenarnya kesempurnaan hanya ada pada Allah.
Namun, ia rasa kesempurnaan dalam berkeluarga sepertinya setengah telah hilang dengan kepergian sang istri. Rasanya begitu perih bila harus ditinggalkannya. Bagi Pak Anggoro, rasa-rasanya ia lah yang merusak kesempurnaan itu. Pasalnya, ketika ia tak ditemani sang istri pada saat lembur. Ia justru tak mengerti akan kondisi sang istri yang jelas-jelas tak bisa menemaninya.
Karena terbiasa ditemani pada waktu lembur, karena tak pernah satu pun ia lembur tanpa ditemani sang istri, ia akan uring-uringan kerja lembur, bahkan tak bisa lembur tanpa kehadiran sang istri. Dan pada suatu hari, malam yang sunyi dengan disertai hujan lebat di luar sana. Sang istri belum kunjung pulang dari rumah orang tuanya (Mertua Pak Anggoro). Kebetulan Pak Anggoro malam itu banyak tugas, bisa jadi lembur. Karena ia tak pernah lembur tanpa sang istri, lantas ia menelpon istrinya dan memintanya agar cepat segera pulang ke rumah. Tapi, sang istri menolak, sebab hujan masih lebat-lebatnya. Malahan, ia meminta pada Pak Anggoro agar diperbolehkan bermalam di rumah orang tuanya bersama kedua putrinya. Pak Anggoro tetap bersikukuh meminta istrinya untuk pulang.
“Kan, kalian membawa mobil? Tidak akan kehujanan, bukan?” tandas Pak Anggoro melalui telpon.
Dan tak lama, Pak Anggoro menarik napas lega mendengar pengakuan sang istri bahwa ia dan kedua putrinya akan pulang malam itu juga.
Sambil menunggu, Pak Anggoro tetap berada di ruang kerja pribadinya. Tidak bisa kosentrasi saat mengerjakan tugas-tugas. Apa lantaran tak ada istri di samping? Yah, ia yakin itu alasannya.
Tiga puluh menit berlalu, tiba-tiba telpon di ruang kerjanya berdering. Segera ia angkat!
“Assalamualaikum...”
Begitu salam itu terucap dan telah dijawab oleh sang penelpon, ia terdiam sejenak. Secara Maha dashyat ia merasakan seperti ada petir yang menyambar dirinya! Ia terhenyak mendengar pernyataan dari penelpon yang menyatakan bahwa Nyonya Santika mengalami kecelakaan. Istri Pak Anggoro.
“Tidak mungkin!!” sentaknya, tak terasa air mata sudah mengalir deras di pipi.
“Benar, Pak! Istri bapak kecelakaan. Mobil yang dikendarai istri bapak bertabrakan dengan bus saat melintas di jalan Brigjen Darsono. Istri beserta dua putri bapak sekarang berada di Rumah Sakit Pertamina Cirebon.”
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Kedua putri bapak baik-baik saja, kemungkinan kondisi mereka baik dikarenakan mereka duduk di jok belakang mobil.”
“Lalu istri saya?!!”
“Lebih baik bapak kemari saja secepatnya. Terima kasih.”
Bergegaslah Pak Anggoro meninggalkan ruangan setelah menutup telpon yang ia yakin itu dari pihak rumah sakit.
Dengan terburu-buru dan pakaian seadanya saja yang nampak ada sedikit tetesan air hujan, ia melangkah terus di lorong Rumah Sakit Pertamina Cirebon. Tiba-tiba ia disergap rasa takut, takut kehilangan mereka. Sesampainya disuatu lorong, ia mendapati kedua putrinya sedang menangis saling berpelukan sambil duduk di sebuah bangku. Langkahnya menjadi pelan, sakit melihat pemandangan itu. Air matapun mengiringi langkahnya. Sedetik kemudian, ia terlonjak!
“Ada apa ini?!” seru Pak Anggoro pada dirinya sendiri. “Dimana istriku?!! Lalu kenapa mereka berada di dekat ruangan jenazah? Apa yang terjadi? Apa ada kaitannnya ruangan jenazah dengan istriku?!” lanjutnya berteriak dalam hati. Lekas ia percepat langkah.
Setelah di hadapan kedua putrinya, Pak Anggoro dipeluk mereka dan mereka serentak berkata, “Pa, Mama telah tiada…!!!”
Tubuhnya seakan hancur berkeping-keping. Seketika tangis Pak Anggoro meledak! Ia merasa ini semua kesalahannya. jika ia tidak meminta istrinya pulang. Tidak akan ada kejadian seperti itu! Ia sangat menyesal. Penyesalan yang tidak dimaafkan oleh dirinya sendiri.
*
Pak Anggoro tersadar! Otaknya sudah menerawang jauh ke belakang. Air mata pun telah membasahi pipi. Cepat-cepat mengangkat sedikit kacamata titaniumnya itu, lalu mengusapkan air mata dengan tissue. Kemudian ia kembali membelalakkan mata ke layar laptop. Ada rasa penyesalan di dalam hatinya yang akan terus ia pendam.
Tak lama, ia kembali serius pada pekerjaannya. Tanpa sengaja, tangan kanannya spontan lagi meraih ke samping kanan laptop.
Kali ini ia terkesiap! Ada sebuah gelas cangkir di situ. Gegas ia mendelik, lantas membuka penutup cangkir tersebut. Wedang jahe. Dalam hatinya terbesit pertanyaan, ‘siapakah yang membuat wedang jahe ini?”
Perlahan ia tengokan ke belakang. Terlihat putri sulungnya berdiri di belakang kursinya.
“Kakak yang membuatkannya untuk Papa. Diminum ya, Pa. nanti kalau sudah diminum, kita ke ruang shalat untuk shalat shubuh, sebentar lagi adzan, sementara si adik sedang mengambil air wudhu. Oya, pa,” sahut putri sulung, ia terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan, “Kakak kangen sama Mama, Pa. Si adik juga katanya kangen. Hari ini kita jiarah ke makam Mama ya, Pa.”
Pak Anggoro tersenyum, “Baiklah, kita akan jiarah hari ini. Dan selepas shalat shubuh jangan beranjak ke mana-mana dulu, ya! Kita akan mendoakan Mama.”
“Ok, deh! Oya, Pa! Mudah-mudahan wedang jahe yang kakak buat sama enaknya dengan buatan Mama.”
“Sama persis, kok! Terima kasih, ya!”
***

Cerpen ini dimuat pada tanggal 28 Januari 2012 di KABAR CIREBON

Tidak ada komentar:

Posting Komentar