Oleh:
Yan Yuliani Teruntuk:
2 Januari
Ciptana, boleh
aku ngasih saran ya. Kamu kan..seorang relawan pertolongan pertama di salah
satu lembaga kota ini..tolong sampaikan saran dan nasihat terbaikku untuk
teman-temanmu di markas (terutama bagi wanita). “Jadilah relawan yang
profesional”. Just it. Mengapa? Karena agar tidak ada yang terluka seperti aku.
Klik kirim. Status di beranda facebookku secara otomatis masuk pada
kronologi berandanya, Ciptana, teman sekelasku. Dan, selang beberapa detik aku
mendapati komentarnya, “Terluka kenapa?”.
Lantas jemari tanganku mengetik keyboard notebook di kolom balas.
Layani
korban secara merata, meskipun selintas jatuh cinta pada pandangan pertama pada
salah satu korban. Tetap -perlakukan secara merata-. Jangan memberi perhatian
lebih hanya satu korban itu. Alasannya, siapa tahu korban yang ditaksirnya
sedang mengajak hubungan serius dengan seseorang di luar sana, tanpa
sepengetahuan. –perlakukan secara merata-
jika tidak, kita tak pernah tahu korban tersebut tersentuh atas jiwa
kerelawanannya atau tidak. Jika ya, tentu akan membuat seseorang terluka di
balik itu.-perlakukan secara merata-
@Zerlinda Danella: wiiih...balasan’a
pAnjng amAt dibnDing status y? siap siap! nti sy SmpAikn k tmn2. Trims tAs
pemasukkan’a, bung...eh mbak..hehehe.
@Zerlinda Danella: ralat. klo da
korban patah tulang. prAhtian lbh’a tuk siapa dulu nih? Korban yg ditksir atw
korban patah tulang?
@Ciptana: ga perlu sya jelasin
di sini, cip. sya yakin kamu udah jauh lebih paham. yg sy maksud perlakukan
secara merata itu adalah adil.
*
Seharusnya setahun lalu itu, aku
mencegat Kak Izzuddin untuk tidak berkegiatan di luar pulau sana. Apa daya,
saat itu kami belum menyandang hubungan ta’aruf.
Toh, sekalipun berstatus ta’ruf maupun halal lagian untuk apa
larang-larang? Apalagi itu kegiatan organisasi tentunya akan menambah banyak
ilmu, bukan? Tapi entah, aku khawatir. Meski kegiatan hanya satu minggu,
wilayah kampus terasa kosong, kehilangan pada sosok yang suka diam-diam
mengamatiku dan perhatian, bahkan tahu-tahu mengekor di belakang. Yah aku
pura-pura tidak tahu saja mengenai hal itu. Pikiran khawatir yang jauh menalar
pun merasuk apakah yang akan terjadi ia di sana. Mudah-mudahan tendanya tidak
rubuh ditiup angin, semoga tidak masuk jurang, atau digigit ular, atau lebih
mengerikannya lagi mendadak alami tanah longsor, gempa, dan banjir bandang. Namun,
sepulangnya ia baik-baik saja. Pernah ia menceritakan kejadian di pulau nan
jauh sana pula, bahwa ia sempat sakit. Kemudian menceritakan seorang wanita
relawan pertolongan pertama di sana, perhatiannya beda selama ia jatuh sakit. Maksudnya
perlakuan wanita itu terhadapnya dengan korban lain, berbeda. Begitu katanya.
Ya...ya...ya aku akui kebiasaannya
mengamatiku di kampus seperti sebelum ke pulau −yang aku malas menyebutkannya−
tidak berkurang. Bahkan candaan ‘nikah yuk’, ‘nikah yuk’ belum luntur dari
mulutnya itu. Malah sempat terlontar kalimat: “Kayaknya, gak percaya sama
kemampuanku ya?!”
Dalam penafsiranku kalimatnya itu mengisyaratkan
bahwa aku seolah tidak percaya akan kemampuannya dalam menghalalkannku dan bisa
sama-sama sukses dunia, dan akhirat. Padahal, jika ia memahami betul hati ini,
bukan itu maksudku. Hanya saja, hati seperti ada yang mengganjal. Entahlah. Dan
terbukti, lambat minggu tahu-tahu aku hanya dianggap sebagai adik? Lha kok
bisa? Malahan ia mengungkapkan telah ada calon yang lebih sholehah dariku.
Mengetahui hal itu, jelas sakit. Dan
bertanya pada diri, apakah belum sholehah dalam kacamata hatinya? Pakaian
muslimah, hijab syar’i yang kukenakan, rasa menghargai sosoknya karena ingin
nikah muda tanpa pacaran, dan masih banyak lagi... hanya itu ending-nya?
Sekarang
semua terjawab. Ketika perasaan nakal untuk membuka facebook milik Kak Izzuddin, terhenyak membuka kolom chatt. Antara Kak Izzuddin dengan wanita
relawan itu. Membaca percakapan inbox
tersebut membuat hati tertacap seribu duri bahkan lebih. Memang aku salah,
sepatutnya tak perlu membuka privasi orang, yah habis kemarin saat ia meminjam
sebentar notebook karena darurat,
sampai lupa menutup facebook sendiri.
Hingga akhirnya aku tanpa sengaja online,
terdapat facebooknya belum tertutup
itu. Dan...terjadilah.
Pikiranku saat ini kacau,
menerka-nerka lebih tepatnya mengingat antara rentetan percakapan mereka dengan
kejadian kehidupanku. Memang percakapan mereka sudah lama sekali, dan berakhir
dalam waktu lama pula. Namun setelah diingat-ingat, yang menjadi
permasalahannya dan tidak habis pikir adalah waktu tersebut dimana ada
perubahan sikap Kak Izzuddin padaku. Tahu-tahu mengganggap sebagai adik lah,
sudah ada calon tersendiri lah. Pantesan aneh, mengajaki nikah tapi belum
berani mengajak ta’aruf, dan niatnya menjadi
maju mundur, ternyata saat itu ia sedang tergoda toh? Sekarang aku paham.
Terbakar juga sih hati ini, ketika
membaca pesan bagaimana Kak Izzuddin cemburu padanya, minta nomor handphone-nya segala terlebih lagi
balasan wanita itu panjang lebar sekali.
Kenapa? Kenapa aku baru tahu hal ini
ketika kami ingin menikah, bahkan dua minggu lalu dua keluarga sudah
dipertemukan. Kalau tahu begini ah..susah untuk dijelaskan. Air mataku tak
henti-hentinya mengalir sudah terlalu menahan. Sakit.
Keesokkan hari, kami berpas-pasan di
wilayah kampus. Pertemuan tanpa kesengajaan itu dan suasana tengah senggang aku
menceritakan atas tindakanku semalam yang telah membuka privasinya di facebook. Terlihat ia marah terpendam
mungkin karena tindakanku ini.
“Ya, aku akui. Aku salah. Tapi dengan
tindakan itu aku bisa tahu. Tahu bahwa...” tenggorokanku tercekat untuk
melanjutkan. Sejenak aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan sembari
mengedip-kedipkan mata agar tidak ada tetesan air mata yang jatuh. Begitu dapat
mengusai diri barulah aku melanjutkan, “Memang komunikasi kalian udah lama
terjadi di inbox. Tapi
permasalahannya, saat itu Kak Izzuddin juga sedang berusaha meyakinkanku untuk
menikah. ‘Kayaknya, gak percaya sama kemampuanku ya?!’, masih inget kalimat
yang keluar dari mulut kakak itu untuk meyakinkanku? Dan saat itu memang aku
mulai menghargai usahamu, Kak. Menghargai niatmu untuk menikah muda. Ternyata,
Kakak saat itu juga sedang menyeleksi antara aku dan dia. Atau bahkan...”
“Bahkan apa?”
“Menyeleksi beberapa cewek,”
“Astagfirullahal’adhim,
saya gak kepikiran ke arah itu. Yang saya pikirkan sekarang ini bagaimana
caranya menghalalkan Dik Zerlinda, kalau ta’aruf
lama-lama nanti disangka pacaran.” tukasnya, “Oke lah, dulu itu saya ada rasa ke dia, wajarlah jatuh cinta,
karena perlakuan dia saat aku sakit sangat berbeda dengan korban lainnya.”
“Tersentuh dengan kebaikannya gitu?”
potongku membuang muka agar ia tak
melihat wajah ini menampakkan kecut, sakit juga mendengarnya, aku bisa
saja melakukan lebih dari wanita itu, tapi bagaimana lawong belum halal? Belum saatnya.
“Ya, aku tutup pembahasan tentang
percakapan inbox kalian. Tapi kakak
masih inget awal-awal kita ta’aruf? Kita
pernah terjadi konflik, masalahnya apa, masih inget? Dia, kan?” tanyaku
tiba-tiba, “Kakak meladeni saat ia menelpon, sejam lebih. Meski kalian
membicarakan aku di telpon, tetap kakak sama saja gak menghargai perasaan aku
sebagai wanita yang sedang diperjuangkan, sampai dua kali lagi kejadian dia
menelpon kakak, dan kakak masih tetap meladeni. Ya, terima kasih atas cerita
kejujuran kakak sesaat setelah menerima telponnya langsung memberitahu aku
keesokkan harinya. Tapi tahu sendiri, aku terluka karena itu. Keduakalinya itu
aku marah dan membuat dua pilihan, yaitu tetap ta’aruf denganku atau memilihnya. Kakak tetap memilih pilihan
pertama yang aku beri dan aku pun memberikan satu kesempatan lagi.”
“Ya, kakak ingat.” sahutnya datar.
“Tapi kakak membuang kesempatan
itu,” imbuhku, “Seminggu sebelum keluarga kita dipertemukan, kakak cerita bahwa
ia mengirim sms menanyai kabar, kakak malah membalasnya dengan menelpon walau
lima menit. Sia-sia tahu gak aku memberi kesempatan!” lanjutku dengan nada
lebih menekan dari sebelumnya.
Seketika, aku merasakan hembusan
napas yang keluar dari mulutnya, entahlah karena menyesali atau sedang sabar
menghadapi bawelku ini.
“Kak, aku merasakan hambar dengan
hubungan ini. Aku gak tahu harus dibuktikan seperti apalagi untuk bisa
meyakinkan hati ini. Sebuah pernikahan dipercepat secepat kilat pun, belum bisa
yakin. Percakapan inbox kalian belum
tentu gak bisa komunikasi lagi, kan? Tuh, kejadian telpon dan sms itu yang baru
aku ceritain menjadi bukti. Bagaimana nanti kalau kita berumah tangga?
Bisa-bisa? Udah deh, aku pamit mau ada jam kuliah. Wassalamualaikum.”
Hanya kudapati balasan salamku, ia
tak berkomentar apapun.
Namun, sekitar jam setengah delapan
malam ia mampir ke rumah. Sengaja memilih tempat mengobrol di halaman, bukan di
ruang tamu seperti biasa. Dengan dihalangi motor yang ia parkirkan, ia banyak
bertutur kata termasuk menyesali perbuatannya karena dirasa perbuatannya itu
telah melukai perasaan seorang wanita yaitu aku. Sementara aku, masih
diselimuti rasa cemburu, terbayang isi percakapan mereka di kolom inbox, hingga pipi ini basah karena otak
memoriku mengingat demikian. Segera aku tutupi dengan hijab, mengusap bersih
air mata. Suasana hening seketika di antara kami.
Begitu tenang, aku mencoba
berbicara.
“Mulai sekarang aku gak akan
melarang kalian untuk berkomunikasi. Orang bercerai saja masih harus
silahturahmi, kakak yang sudah menganggapnya sebagai adik, masa aku larang?”
ujarku yang kontra dengan kata hati. “Juga, aku gak akan memaksa kakak untuk
melupakannya atau bahkan menghapus kenangan, dan pertemanan kalian di facebook. Gak akan aku paksa, pengen ada
kesadaran aja.” imbuhku terlontar begitu saja, tentu terdengar perkataan yang jujur
bahwa sebenarnya aku ingin ia melupakannya.
“Udah kakak hapus, gak ada paksaan
dari manapun, dari siapapun. Karena keinginan kakak aja.” sahutnya. Lalu ia
melanjutkan, “Jadi, masih mau nikah sama kakak, gak?”
Jujur aku... masih terasa hambar.
Kunjungannya kemari, ini dirasa memang naluri seorang lelaki apabila ingin
menikah ia kejar terus untuk bisa meluluhkan wanita yang ia ingini. Jadi,
sah-sah saja melakukan hal itu. Ataukah memang ini jodoh? Sulit aku terka dalam
situasi dan suasana hati seperti ini. Sulit pula untuk mempercayainya lagi.
Ya
Allah jika ia jodohku, dekatkanlah. Mudahkanlah ia dalam menghalalkanku. Tetapi
jika ia bukan jodohku, jauhkanlah. Pisahkan kami secara baik-baik. Dan
gantikkan yang jauh lebih baik darinya. Batinku berdoa. Doa yang tak pernah
luntur sejak ia berani mengatakan cintanya di depan ayahku.
*
Sejak kedatangannya malam itu, sampai
beberapa hari aku belum melihatnya lagi. Inikah pisah secara baik-baik? Yah,
jika ya, ini lebih baik ketimbang ada ucapan perpisahan. Apakah aku harus
menghubunginya? Tapi untuk apa? Menanyai kabar? Jadwal pernikahan sudah
ditetapkan apa yang harus dibicarakan melalui telpon nanti? Kami kan, memang
bukan pacaran? Masa telpon-telponan?
Jika
memang ia bukan jodohku, pisahkan kami secara baik-baik. Batinku.
Selang
beberapa detik, aku menghembuskan napas perlahan untuk mengusir kepenatan.
Setelah itu aku harus segera siap-siap berkemas untuk mempersiapkan kompetisi
bergengsi di Ibukota Provinsi. Tak ada salahnya fokus pada kompetisi ini, sekaligus
hitung-hitung melupakannya, meski susah tentunya. Akan kucoba.bersambung..
*Citrapata = lembaran hidup