Selasa, 01 Maret 2016

Citrapata_Tentang Cinta

Oleh: Yan Yuliani                                                                               Teruntuk: 2 Januari
            Ciptana, boleh aku ngasih saran ya. Kamu kan..seorang relawan pertolongan pertama di salah satu lembaga kota ini..tolong sampaikan saran dan nasihat terbaikku untuk teman-temanmu di markas (terutama bagi wanita). “Jadilah relawan yang profesional”. Just it. Mengapa? Karena agar tidak ada yang terluka seperti aku.
         Klik kirim. Status di beranda facebookku secara otomatis masuk pada kronologi berandanya, Ciptana, teman sekelasku. Dan, selang beberapa detik aku mendapati komentarnya, “Terluka kenapa?”.
              Lantas jemari tanganku mengetik keyboard notebook di kolom balas.
            Layani korban secara merata, meskipun selintas jatuh cinta pada pandangan pertama pada salah satu korban. Tetap -perlakukan secara merata-. Jangan memberi perhatian lebih hanya satu korban itu. Alasannya, siapa tahu korban yang ditaksirnya sedang mengajak hubungan serius dengan seseorang di luar sana, tanpa sepengetahuan. –perlakukan secara merata-  jika tidak, kita tak pernah tahu korban tersebut tersentuh atas jiwa kerelawanannya atau tidak. Jika ya, tentu akan membuat seseorang terluka di balik itu.-perlakukan secara merata-
           @Zerlinda Danella: wiiih...balasan’a pAnjng amAt dibnDing status y? siap siap! nti sy SmpAikn k tmn2. Trims tAs pemasukkan’a, bung...eh mbak..hehehe.
            @Zerlinda Danella: ralat. klo da korban patah tulang. prAhtian lbh’a tuk siapa dulu nih? Korban yg ditksir atw korban patah tulang?
          @Ciptana: ga perlu sya jelasin di sini, cip. sya yakin kamu udah jauh lebih paham. yg sy maksud perlakukan secara merata itu adalah adil.
*
            Seharusnya setahun lalu itu, aku mencegat Kak Izzuddin untuk tidak berkegiatan di luar pulau sana. Apa daya, saat itu kami belum menyandang hubungan ta’aruf. Toh, sekalipun berstatus ta’ruf maupun halal lagian untuk apa larang-larang? Apalagi itu kegiatan organisasi tentunya akan menambah banyak ilmu, bukan? Tapi entah, aku khawatir. Meski kegiatan hanya satu minggu, wilayah kampus terasa kosong, kehilangan pada sosok yang suka diam-diam mengamatiku dan perhatian, bahkan tahu-tahu mengekor di belakang. Yah aku pura-pura tidak tahu saja mengenai hal itu. Pikiran khawatir yang jauh menalar pun merasuk apakah yang akan terjadi ia di sana. Mudah-mudahan tendanya tidak rubuh ditiup angin, semoga tidak masuk jurang, atau digigit ular, atau lebih mengerikannya lagi mendadak alami tanah longsor, gempa, dan banjir bandang. Namun, sepulangnya ia baik-baik saja. Pernah ia menceritakan kejadian di pulau nan jauh sana pula, bahwa ia sempat sakit. Kemudian menceritakan seorang wanita relawan pertolongan pertama di sana, perhatiannya beda selama ia jatuh sakit. Maksudnya perlakuan wanita itu terhadapnya dengan korban lain, berbeda. Begitu katanya.
           Ya...ya...ya aku akui kebiasaannya mengamatiku di kampus seperti sebelum ke pulau −yang aku malas menyebutkannya− tidak berkurang. Bahkan candaan ‘nikah yuk’, ‘nikah yuk’ belum luntur dari mulutnya itu. Malah sempat terlontar kalimat: “Kayaknya, gak percaya sama kemampuanku ya?!”
      Dalam penafsiranku kalimatnya itu mengisyaratkan bahwa aku seolah tidak percaya akan kemampuannya dalam menghalalkannku dan bisa sama-sama sukses dunia, dan akhirat. Padahal, jika ia memahami betul hati ini, bukan itu maksudku. Hanya saja, hati seperti ada yang mengganjal. Entahlah. Dan terbukti, lambat minggu tahu-tahu aku hanya dianggap sebagai adik? Lha kok bisa? Malahan ia mengungkapkan telah ada calon yang lebih sholehah dariku.
         Mengetahui hal itu, jelas sakit. Dan bertanya pada diri, apakah belum sholehah dalam kacamata hatinya? Pakaian muslimah, hijab syar’i yang kukenakan, rasa menghargai sosoknya karena ingin nikah muda tanpa pacaran, dan masih banyak lagi... hanya itu ending-nya?
            Sekarang semua terjawab. Ketika perasaan nakal untuk membuka facebook milik Kak Izzuddin, terhenyak membuka kolom chatt. Antara Kak Izzuddin dengan wanita relawan itu. Membaca percakapan inbox tersebut membuat hati tertacap seribu duri bahkan lebih. Memang aku salah, sepatutnya tak perlu membuka privasi orang, yah habis kemarin saat ia meminjam sebentar notebook karena darurat, sampai lupa menutup facebook sendiri. Hingga akhirnya aku tanpa sengaja online, terdapat facebooknya belum tertutup itu. Dan...terjadilah.
           Pikiranku saat ini kacau, menerka-nerka lebih tepatnya mengingat antara rentetan percakapan mereka dengan kejadian kehidupanku. Memang percakapan mereka sudah lama sekali, dan berakhir dalam waktu lama pula. Namun setelah diingat-ingat, yang menjadi permasalahannya dan tidak habis pikir adalah waktu tersebut dimana ada perubahan sikap Kak Izzuddin padaku. Tahu-tahu mengganggap sebagai adik lah, sudah ada calon tersendiri lah. Pantesan aneh, mengajaki nikah tapi belum berani mengajak ta’aruf, dan niatnya menjadi maju mundur, ternyata saat itu ia sedang tergoda toh? Sekarang aku paham.
              Terbakar juga sih hati ini, ketika membaca pesan bagaimana Kak Izzuddin cemburu padanya, minta nomor handphone-nya segala terlebih lagi balasan wanita itu panjang lebar sekali.  
         Kenapa? Kenapa aku baru tahu hal ini ketika kami ingin menikah, bahkan dua minggu lalu dua keluarga sudah dipertemukan. Kalau tahu begini ah..susah untuk dijelaskan. Air mataku tak henti-hentinya mengalir sudah terlalu menahan. Sakit.
           Keesokkan hari, kami berpas-pasan di wilayah kampus. Pertemuan tanpa kesengajaan itu dan suasana tengah senggang aku menceritakan atas tindakanku semalam yang telah membuka privasinya di facebook. Terlihat ia marah terpendam mungkin karena tindakanku ini.
            “Ya, aku akui. Aku salah. Tapi dengan tindakan itu aku bisa tahu. Tahu bahwa...” tenggorokanku tercekat untuk melanjutkan. Sejenak aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan sembari mengedip-kedipkan mata agar tidak ada tetesan air mata yang jatuh. Begitu dapat mengusai diri barulah aku melanjutkan, “Memang komunikasi kalian udah lama terjadi di inbox. Tapi permasalahannya, saat itu Kak Izzuddin juga sedang berusaha meyakinkanku untuk menikah. ‘Kayaknya, gak percaya sama kemampuanku ya?!’, masih inget kalimat yang keluar dari mulut kakak itu untuk meyakinkanku? Dan saat itu memang aku mulai menghargai usahamu, Kak. Menghargai niatmu untuk menikah muda. Ternyata, Kakak saat itu juga sedang menyeleksi antara aku dan dia. Atau bahkan...”
            “Bahkan apa?”
            “Menyeleksi beberapa cewek,”
            “Astagfirullahal’adhim, saya gak kepikiran ke arah itu. Yang saya pikirkan sekarang ini bagaimana caranya menghalalkan Dik Zerlinda, kalau ta’aruf lama-lama nanti disangka pacaran.” tukasnya, “Oke lah, dulu itu saya ada rasa ke dia, wajarlah jatuh cinta, karena perlakuan dia saat aku sakit sangat berbeda dengan korban lainnya.”
          “Tersentuh dengan kebaikannya gitu?” potongku membuang muka agar ia tak  melihat wajah ini menampakkan kecut, sakit juga mendengarnya, aku bisa saja melakukan lebih dari wanita itu, tapi bagaimana lawong belum halal? Belum saatnya.
            “Ya, aku tutup pembahasan tentang percakapan inbox kalian. Tapi kakak masih inget awal-awal kita ta’aruf? Kita pernah terjadi konflik, masalahnya apa, masih inget? Dia, kan?” tanyaku tiba-tiba, “Kakak meladeni saat ia menelpon, sejam lebih. Meski kalian membicarakan aku di telpon, tetap kakak sama saja gak menghargai perasaan aku sebagai wanita yang sedang diperjuangkan, sampai dua kali lagi kejadian dia menelpon kakak, dan kakak masih tetap meladeni. Ya, terima kasih atas cerita kejujuran kakak sesaat setelah menerima telponnya langsung memberitahu aku keesokkan harinya. Tapi tahu sendiri, aku terluka karena itu. Keduakalinya itu aku marah dan membuat dua pilihan, yaitu tetap ta’aruf denganku atau memilihnya. Kakak tetap memilih pilihan pertama yang aku beri dan aku pun memberikan satu kesempatan lagi.”
            “Ya, kakak ingat.” sahutnya datar.
            “Tapi kakak membuang kesempatan itu,” imbuhku, “Seminggu sebelum keluarga kita dipertemukan, kakak cerita bahwa ia mengirim sms menanyai kabar, kakak malah membalasnya dengan menelpon walau lima menit. Sia-sia tahu gak aku memberi kesempatan!” lanjutku dengan nada lebih menekan dari sebelumnya.
            Seketika, aku merasakan hembusan napas yang keluar dari mulutnya, entahlah karena menyesali atau sedang sabar menghadapi bawelku ini.
           “Kak, aku merasakan hambar dengan hubungan ini. Aku gak tahu harus dibuktikan seperti apalagi untuk bisa meyakinkan hati ini. Sebuah pernikahan dipercepat secepat kilat pun, belum bisa yakin. Percakapan inbox kalian belum tentu gak bisa komunikasi lagi, kan? Tuh, kejadian telpon dan sms itu yang baru aku ceritain menjadi bukti. Bagaimana nanti kalau kita berumah tangga? Bisa-bisa? Udah deh, aku pamit mau ada jam kuliah. Wassalamualaikum.”
            Hanya kudapati balasan salamku, ia tak berkomentar apapun.
           Namun, sekitar jam setengah delapan malam ia mampir ke rumah. Sengaja memilih tempat mengobrol di halaman, bukan di ruang tamu seperti biasa. Dengan dihalangi motor yang ia parkirkan, ia banyak bertutur kata termasuk menyesali perbuatannya karena dirasa perbuatannya itu telah melukai perasaan seorang wanita yaitu aku. Sementara aku, masih diselimuti rasa cemburu, terbayang isi percakapan mereka di kolom inbox, hingga pipi ini basah karena otak memoriku mengingat demikian. Segera aku tutupi dengan hijab, mengusap bersih air mata. Suasana hening seketika di antara kami.
                Begitu tenang, aku mencoba berbicara.
           “Mulai sekarang aku gak akan melarang kalian untuk berkomunikasi. Orang bercerai saja masih harus silahturahmi, kakak yang sudah menganggapnya sebagai adik, masa aku larang?” ujarku yang kontra dengan kata hati. “Juga, aku gak akan memaksa kakak untuk melupakannya atau bahkan menghapus kenangan, dan pertemanan kalian di facebook. Gak akan aku paksa, pengen ada kesadaran aja.” imbuhku terlontar begitu saja, tentu terdengar perkataan yang jujur bahwa sebenarnya aku ingin ia melupakannya.
              “Udah kakak hapus, gak ada paksaan dari manapun, dari siapapun. Karena keinginan kakak aja.” sahutnya. Lalu ia melanjutkan, “Jadi, masih mau nikah sama kakak, gak?”
            Jujur aku... masih terasa hambar. Kunjungannya kemari, ini dirasa memang naluri seorang lelaki apabila ingin menikah ia kejar terus untuk bisa meluluhkan wanita yang ia ingini. Jadi, sah-sah saja melakukan hal itu. Ataukah memang ini jodoh? Sulit aku terka dalam situasi dan suasana hati seperti ini. Sulit pula untuk mempercayainya lagi.
               Ya Allah jika ia jodohku, dekatkanlah. Mudahkanlah ia dalam menghalalkanku. Tetapi jika ia bukan jodohku, jauhkanlah. Pisahkan kami secara baik-baik. Dan gantikkan yang jauh lebih baik darinya. Batinku berdoa. Doa yang tak pernah luntur sejak ia berani mengatakan cintanya di depan ayahku.
*
            Sejak kedatangannya malam itu, sampai beberapa hari aku belum melihatnya lagi. Inikah pisah secara baik-baik? Yah, jika ya, ini lebih baik ketimbang ada ucapan perpisahan. Apakah aku harus menghubunginya? Tapi untuk apa? Menanyai kabar? Jadwal pernikahan sudah ditetapkan apa yang harus dibicarakan melalui telpon nanti? Kami kan, memang bukan pacaran? Masa telpon-telponan?
               Jika memang ia bukan jodohku, pisahkan kami secara baik-baik. Batinku.
              Selang beberapa detik, aku menghembuskan napas perlahan untuk mengusir kepenatan. Setelah itu aku harus segera siap-siap berkemas untuk mempersiapkan kompetisi bergengsi di Ibukota Provinsi. Tak ada salahnya fokus pada kompetisi ini, sekaligus hitung-hitung melupakannya, meski susah tentunya. Akan kucoba.
bersambung..

*Citrapata = lembaran hidup

Tidak ada komentar:

Posting Komentar