Jumat, 24 Desember 2010
Kristal Band - Sejenak
lagu ini mengingatkanku pada PENGERAN KODOK.
KRISTAL- Sejenak
Sejujurnya kuakui memang kumasih sayang pada dirimu
Walau engkau kini telah berdua, takkan pernah memudar cinta di dalam hatiku
Terus bersemi selamanya.
Bila kita tak bersama, namun bayangmu tersimpan dalam jiwa
Bersemayam dan selalu kujaga, cintamu tak pernah mati bersandar di hati ini,
Selamanya kan abadi.
* MALAM INI KAU PUN HADIR DI DAlAM MIMPIKU
JELAS KUlIHAT INDAH SENYUMMU
MESKI DIRIKU TERLELAP, TERPEJAM MATAKU INI
SAAT INI KAU SEAKAN TEMANI TIDURKU
HABISKAN WAKTU MALAM DENGANMU
SEJENAK KITA LUPAKAN DIRINYA YANG KINI JADI KEKASIHMU
Dan memang cinta sejati, terpancar dari tulusnya hati ini
WALAU CINTA TAK HARUS MEMILIKI
BIAR HANYA KUNIKMATI DIRIMU DI DALAM MIMPI
Tiada pernah kusesali
* repeat
Cinta yang terpendam di dalam hatiku tak kan hiang selama hidupku.
Sabtu, 21 Agustus 2010
Cerpen Acne
ACNE
Hampir
satu jam Careline mematut diri di cermin hanya untuk memandang dirinya sendiri.
Ada sesuatu yang harus ia banggakan
begitu melihat penampilan fisiknya, dari mulai bentuk betis yang indah, bentuk
pinggang yang menarik, kulitnya kuning langsat, rambutnya pun panjang tergerai
mempesona, dan tubuhnya pula tinggi semampai. Sungguh sempurna. Namun begitu
melihat ke raut wajahnya, alamak…. Ia langsung meringis. Rasa bangga karena
merasa sempurna kini sirna saat memandang wajahnya itu, wajah yang di penuhi
jerawat. Ia tidak habis pikir kenapa wajahnya dipenuhi oleh bintik-bintik
menonjol di atas kulit cerahnya itu, padahal menurutnya …ini tidak masuk akal.
Masa jerawat tumbuh di kulit yang bersih? Pikir Careline.
Inilah satu kepahitan yang harus ia
terima. Sejenak ia condongkan wajahnya ke cermin, melihat lebih seksama. Dan ia
baru menyadari bahwa tidak hanya jerawat tetapi juga ada sedikit noda hitam.
“Huugh!” Careline
menumpahkan kelesuannya dalam sekali hembusan napas.
“Careline…!!”
suara sang Mama membahana di penjuru ruangan.
“Iya, Ma! Careline
ada di kamar! Tunggu sebentar, Ma!” seru Careline tiba-tiba mendadak
terburu-buru merapihkan seragam putih abu-abu yang di kenakannya, dan ia
bergegas mengambil tas oversize
coklat, lalu meninggalkan ruangan kamar.
Di
ruangan makan, ia duduk di antara kedua orang tuanya untuk menyantap hidangan
sarapan pagi ini. Belum ia menyantapnya, ia sudah merasa mual melihat semua
hidangan di meja. Tampak ia tak berselera, hidangan itu lagi…itu lagi, sayur
asem yang di campur dengan beberapa kacang di dalamnya, ada ayam goring pula,
lalu minumnya susu. Tak ada perubahan, banyak terkandung lemak, tentu saja..
Bagaimana bisa menghilangkan jerawat kalau begini caranya, pikirnya.
Tak
lama berselang, Careline sudah berada di ruang kelas sepuluh menit yang lalu.
Ia duduk paling terbelakang di pojokan kanan. Tepat di samping kirinya, ada
teman sebangkunya yang bernama Ikta. Mereka tengah sibuk menghafalkan rumus
matematika, memusatkan diri pada buku mereka masing-masing.
Sedang asyik menghafalkan rumus,
tak sengaja ekor mata Careline menangkap sesuatu di tepak pensil Ikta. Sebuah
pembersih wajah. Melihat demikian, Careline menghembuskan napas berat. Ia
menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai pembersih wajah, polesan bedak pun tak
menyertai di wajahnya itu. Perlahan tangannya merogoh tepak pensil miliknya
sendiri. Lalu di ambilkannya sebuah cermin kecil, dan mulailah ia bercermin.
Terlihat jelas wajah penuh jerawat itu, lagi-lagi ia meringis di buatnya. Ia
tersadar akan kelalaian atas tidak sepenuhnya serius dalam membersihkan
wajahnya itu.
Berarti
muka gue belum tergolong bersih. Bathinya.
Seketika ia terheran mengapa ia
sampai berjerawat seperti ini. Apa karena kurang serius membersihkan wajah
seperti kesadarannya tadi? Ataukah memang ini takdirnya harus berjerawat?
Ataukah memang harus memakai kosmetik?
Entahlah! Ia tak tahu. Namun bila menyinggung kosmetik, ia tidak ingin
memakai kosmetik lagi. Untuk saat ini, sebab ia pernah mempunyai kosmetik dan
tidak jarang untuk menggunakannya ke wajah.
Seiring berjalannya waktu, justru
wajahnya semakin tidak karuan, menyebabkan lebih banyak jerawat saja. Mungkin
karena kurang cocok dengan kosmetiknya. Mungkin. Dan sejak saat itu, ia tidak
ingin memakai kosmetik lagi untuk beberapa tahun ke depan. Setelah menemukan
kosmetik yang cocok nanti, barulah ia akan mencoba memakai kosmetik kembali.
Namun ia tidak janji.
Telapak
tangannya yang mulus perlahan-lahan meraba pipinya yang penuh dengan benjolan
kecil berwarna merah dadu. Ingin rasanya, ia menyingkirkan itu semua dalam
sekejap. Jika sudah merasa mengeluh akan hal ini, ia menjadi teringat sesuatu,
sesuatu yang tidak ia sukai yang membuatnya tersinggung, yaitu di perolok
masalah jerawat oleh teman-teman sekelasnya. Karena teman-temannya selalu
memperoloknya ‘si muka kue rempeyek’. Sadis benar …olokannya itu. Ia pun harus
menelan satu kepahitan kembali, habis…mau bagaimana lagi?
Namun entah
datangnya darimana, bagai di sambar petir saja! Ia menjadi bersemangat. Sambil
bercermin yang di lakukannya sedari tadi itu, ia lekas menegakkan tubuhnya
sedikit, lalu ia bergumam, “Lebih baik jerawatan dari pada panuan!”
Ikta yang duduk di
sebelahnya sembari manghafal rumus itu tersentak. Namun ia memakluminya,
pura-pura tidak mendengar saja.
Tidak
lama, suara bel masuk terdengar di telinga. Kini saatnya memasuki ke pelajaran
pertama. Dan di kelas X.2, kelas dimana Careline tempati sedang di adakannya
ulangan matematika di jam pertamanya itu.
Hingga memasuki jam kedua, belum
usai ulangan matematika di kelas X.2 tersebut.
“Dua menit lagi!”
seru Bu Inah selaku guru matematika yang sedari tadi berdiri di depan papan
tulis. Bu Inah, guru yang di takuti oleh semua siswa di salah satu sekolah
menengah atas kota Cirebon.
Karena ketegasan beliaulah membuat mereka kalang kabut jika sedang ulangan
seperti saat ini.
Tak ada yang mengelak satu pun dari
mereka untuk menyontek, termasuk Careline. Menoleh sedikit saja langsung di
pelototin, mereka sadar hal itu. Untuk menyelamatkan diri dari waktu ulangan
matematika yang terlaknat, maka mereka harus pintar-pintar mencari jawaban,
entah dari mana! Syukur-syukur dari otak sendiri.
“Satu menit lagi!”
seru Bu Inah sekali lagi sambil melipatkan kedua tangan di perut.
Suara Bu Inah yang sering kali
membahana di ruang kelas membuat mereka semakin takut, sama halnya yang di
rasakan oleh Careline. Ia tak bisa menyontek. Mengandalkan otaknya, hanya
beberapa soal saja yang bisa ia kerjakan, itu pun belum tentu benar.
“Banyak banget
yang belum gue isi!” sahutnya dalam hati.
Karena terhimpit oleh desakan waktu
tidak mungkin menunggu wangsit, tidak mungkin pula mengandalkan otak, atau
tetekbengek lain sejenisnya, hanya satu yang mungkin ialah jerawat. Jerawatlah
yang harus bertindak. Ia tersadar ada yang dapat di manfaatkannya. Mulailah ia beraksi.
“A-B-C-D-E-A…B”
Careline menghitung jerawat yang ada di kening, lalu seiring berakhirnya
jerawat di kening itu, tentu sebuah penentuan untuk menjawab satu soal, “C,”
lanjut Careline, jari telunjuknya berhenti menari di kening.
Kemudian di tulisannya huruf
tersebut ke nomor 17 yang belum sempat terisi.
“Nomor
berapa lagi, ya? 20, 21, 24, 30.” Ia berdesis. Gegas ia menghitung jerawat di
pipi kiri dan pipi kanan untuk menjawab nomor 20 dan 21. begitu juga dengan
nomor 24, ia pun melancarkan aksinya kembali untuk menghitung jerawat, kali ini
di daerah dagu. Namun, saat pengisian nomor 30 yang menjadi tempat sasarannya
adalah di daerah hidung, di situlah ia mulai kesulitan. Pasalnya, di daerah
hidung tidak ada jerawat melainkan komedo. Mana mungkin bisa di hitung? Maka
dari itu ia akan mencoba mengisinya dengan menggunakan otaknya saja.
Sekian detik, sudah berulang kali
ia coba memakai berbagai rumus, namun tak ada jawabannya. Terpaksa jerawat lagi
yang akan bertindak. Dengan sigapnya ia menghitung semua jerawat yang ada di
wajah.
Anehnya, Bu Inah tak menyadari apa
yang di lakukan oleh Careline. Wajar, karena Careline mnghitung jerawat sangat
hati-hati namun cepat. Alhasil, Bu Inah pun mengira Careline sedang pusing
melihat soal.
“A.”
suara Careline bernada sangat pelan. Lalu ia menuliskannya ke jawaban nomor 30.
dan bersegeralah ia mengumpulkan hasil kerjaannya itu ke meja guru.
Akhirnya ia bisa bernapas lega,
serta membiarkan berbagai kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di hasilnya.
Yang jelas, ia telah selesai mengerjakan ulangan hari ini.
Dari
pada menghitung kancing. Bathin Careline.
*
Sepulang
sekolah, Careline tak pernah lupa untuk mengikuti latihan baris berbaris.
Maklum saja, di ekskul paskibranya itu sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan perlombaan
paskibra se-kota Cirebon yang akan
di selenggarakan minggu depan.
Sebenarnya, jauh dari lubuk hati
Careline ingin sekali keluar dari ekskulnya itu. Namun apa daya, sang pembina
Paskibra memberikannya sebuah jabatan sebagai sekretaris, membuat ia harus
bertanggung jawab saja. Dan mau tidak mau, ia mengurungkan niat untuk keluar
dari paskibra.
Di minggu-minggu ini, ia sangat di
sibukan dengan latihan baris berbaris yang membosankan. Maklum saja, satu
minggu menjelang pelombaan paskibra, ia dan teman-temannya harus berekstra
keras latihan. Jika tidak, kemungkinan terburuk akan menimpa mereka.
Setelah beberapa kali membentuk
barisan dan formasi. Kini saatnya mereka beristirahat sejenak. Pohon rindang di
pinggir lapangan sangat cocok untuk di jadikan tempat istirahat mereka sembari
duduk berselonjor.
“Ih..! gue janji,
kalau perlombaan nanti selesai, gue bakal keluar dari ekskul ini!” tandas Nina
salah satu dari mereka.
“Kenapa?” tanya
Ikta yang kebetulan satu ekskul pula dengan Careline.
“Loe gak ngerasain,
apa?? Latihan baris-berbaris yang terus-menerus, udah gitu cuacanya panas
banget, dahaga, bikin keringat di badan berkucuran.”
“Tapi kan,
bikin kita sehat? Berkeringat itu bagus, lho! Apalagi kalau di daerah wajah
kita selalu berkeringat, itu bisa menghilangkan jerawat.” terang Ikta panjang
lebar.
Mendengar pernyataan Ikta barusan,
Careline yang tengah meneguk air minum hampir tersendak di buatnya. Ia merasa
seperti ada angin segar di dalam dirinya.
“Masa?”
tanya Careline.
“Ya,
bener…kalau loe gak percaya buktiin aja! Gue baca info itu dari majalah, lho!”
Careline sedikit resah. ‘Buktikan
saja’ katanya? Lalu selama ini yang di lakukannya berhari-hari demi latihan
yang menguras keringat ke seluruh badan termasuk wajah itu, apa bukan namanya
bukti? Sudah termsuk bukti, bukan? Namun tetap saja jerawat bersemanyam di
wajah, pikir Careline.
“O…pantesan…ketiak
kita gak pernah jerawatan, berkeringat melulu….!” cela Nina menyeletuk.
Mereka pun sedikit terhibur
olehnya. Tetapi tidak dengan Careline, ia malah terdiam. Ia merasa Nina
memperoloknya, walaupun kenyataan tidak demikian. Entahlah! Ia tersinggung
saja.
Di antara temannya hanya wajah
Carelinelah yang berjerawat.
*
Seminggu
kemudian. Letih, lulai, capek, sangat di rasakan betul oleh Careline seusai
melakukan kewajibannya mengikuti lomba paskibra beberapa jam lalu. Kini ia pun
dengan santainya merebahkan tubuh ke tempat tidur di kamarnya sendiri. Tuntas
sudah tugas terberatnya, dan apa yang ia kerjakan bersama teman-temannya itu
sangat setimbang dengan hasil yang mereka peroleh. Karena mereka mendapatkan
juara harapan di perlombaan pakibra se-kota Cirebon
tersebut. Meskipun, hanya juara harapan, tidak masalah bagi mereka.
Dan dari situlah, temannya yang bernama Nina ingin terus
melanjutkan perjuangannya di ekskul paskibranya itu, begitu pula dengan
Careline. Ia akan tetap berada di ekskul paskibra, ingin membuktikan pula bahwa
keringat dapat mengilangkan jerawat yang pernah di katakan oleh Ikta. Mungkin
dengan terus berekskul paskibra yang selalu menguras keringat, jerawatnya akan
hilang perlahan-lahan, lenyap oleh keringat.
Sesaat kemudian,
Careline mengulurkan tangan ke samping untuk mengambil cemin berbentuk bulat
yang tergeletak di atas bantal. Ia pun mulai bercermin. Terlihat wajahnya
sangat kusam, beberapa hari belakangan ini wajahnya memang semakin kusam, dan
semakin kusam.
“Ga pa-pa! kan,
jadi juara harapan? Mau kusam atau gak? Yang penting, gak panuan!” seru
Careline dalam hati.
Selama ini, ia tetap berpegang pada
prinsip, ‘lebih baik jerawatan, daripada panuan’ itu.
Tak berselang lama, hanya beberapa
detik saja, dirinya baru menyadari akan sesuatu hal. Mataya kian membelalak,
menatap tajam wajahnya di cermin.
“Hah???”
ia mendesah hingga spontan tubuhnya terperanjat bangun.
Tidak percaya apa yang lihat tadi,
maka ia berlari menuju ke meja rias, melihat wajahnya lekat-lekat di situ.
“Argh…!!!
Gak Cuma kusam, jerawat, komedo, atau noda hitam saja yang bersemanyam di muka
gue ini!! Tetapi juga, panu…!!! Sejak kapan ada di muka gue….Arghh!!” teriak Careline
histeris melihat wajahnya demikian, Careline resah. Haruskah ia keluar dari
ekskulnya? Ataukah memulai kembali berkosmetik?
Menurutmu?
***
(Juni
2010)
Di
muat pada tanggal 21 Agustus 2010, Kabar Cirebon.
Jumat, 09 Juli 2010
cerpen 'nasehat kakak'
Nasehat kakak
Debur
ombak selalu kudengar tiap hari, wajar rumahku kan dekat dengan laut? Ayahku
saja seorang nelayan. Ya…pastinya aku juga seorang anak nelayan, tetapi ayahku
tak pernah menyuruhku untuk menjadi seorang nelayan. Beliau selalu menasehatiku
bahwa aku harus lebih baik dari beliau, setidaknya tidak menjadi nelayan,
tentu. Entah apa yang menjadi alasannya! Aku tidak tahu. Yang jelas aku akan
menurut, dan kewajibanku sekarang adalah hanyalah belajar, serta membantu ibu
di pasar pelelangan ikan untuk menjual hasil tangkapan ayah, setiap pagi
sebelum berangkat ke sekolah.
Bagiku,
mendengar debur ombak seperti nyanyian seorang diva yang membangkitkan semangat
bagi pendengarnya. Tidak percaya? Nikmati saja.
Dan aku merasa kurang puas apabila
mendengar debur ombak hanya dari rumah saja. Maka dari itu, setiap pulang
sekolah aku selalu mengunjungi dermaga. Seperti saat ini, aku pun ke sana yang
masih mengenakan seragam putih merah.
Tepat di ujung dermaga sana, ada
sesosok wanita berjilbab yang tengah duduk sendirian. Wajahku kian menuangkan senyum padanya.
Lantas langkahku mendekati, dan begitu ada di sampingnya, gegas aku cepat-cepat
duduk.
“Sudah
lama duduk di sini, kak Virna?” tanyaku mengawali. Tertoleh wajah yang
kusayangi itu ke arahku.
“Ndak
juga, dek Dino,” jawabnya. “Kamu tahu, kenapa kakak duduk di sini?”lanjutnya
menanyakan.
Jawabanku hanya menggeleng kepala
sekuat-kuatnya.
“Karena
kakak ingin menanyakan sesuatu sama kamu.”
“Apa
itu?”
“Dengarkan
baik-baik, ya!” seru kak Virna. lalu ia melanjutkan, “Kenapa akhir-akhir ini
kamu jadi pemalas?”
“Masa?
Aku selalu bantuin ibu tiap pagi. Aku nggak malas kan, kalau begitu?”
“Bukan.
Maksud kakak, kenapa kamu jadi pemalas di sekolahmu?” tukas kak Virna bernada
pelan.
Mendengar
ucapannya itu, segera aku menurunkan pandangan ke laut. Aku rasa pekataan kak
Virna memang benar, akhir-akhir ini aku malas belajar, PR pun jarang
kukerjakan, sampai-sampai nilai ulangan jadi hancur-hancuran. Seketika aku
terkejut, tahu-tahu tangan hangat kak Virna sedang mengusap kepalaku. Sejak
kapan? Pasti mukaku masam di lihatnya sampai ia harus melakukan itu padaku.
“Kamu
ini bocah kecil yang masih duduk di kelas 4 SD. Harus rajin belajar,” kata kak
Virna.
Aku tetap menunduk terpekur.
“Tataplah
ke depan yang berada jauh darimu, Dino.”
Suara kak Virna kali ini membuatku
menurut. Gegas aku mendongak, melepaskan pandanganku lurus ke depan, dan
menegakkan dadaku sedikit.
“Lalu,
apa lagi yang harus Dino lakukan, kak?”
Tampak telapak tangan kak Virna
menutupi mulutnya untuk menahan tawa.
“Bukan
itu,” sahutnya.
“Lantas
apa?” aku meringis sambil menoleh ke wajah yang selalu kurindukan itu.
“Raih
cita-citamu, tataplah itu!”
“Tapi,
kak?”
“Kakak
tahu ....kamu sedang ada beban di pikiranmu itu. Makanya, kamu jadi malas
belajar.”
“Habis….mau
gimana lagi….Dino nggak bisa kosentrasi belajar kalau ada masalah tentang
keuangan sekolah.”
“Itukah
yang menjadi beban pikiranmu?”
“Ya,”
jawabku. “Kakak, ibu belum ngasih uang untuk beli buku lks, sppku juga
menunggak.” imbuhku bernada lirih.
“Lho…bukannya
sekolah dasar itu gartis? Terbebas dari uang apa pun?”
“Kata
siapa? Buktinya, masih bayar ini-itu.”
Tangan kak Virna kembali membelai
rambutku.
“Ya,
sudahlah. kamu ndak usah memikirkan hal itu. Biar bapak dan ibu saja yang
menanganinya. Kamu tetap belajar.”
“Tapi,
kak?”
“Coba
kamu bayangkan! Jika kamu rajin belajar, lalu kamu itu menjadi peringkat
pertama di kelas. Kemudian jaddilah kamu orang yang pintar? Enak, kan? Nah,
dari rajin belajarmu itu, pasti akan mendatangkan rejeki, yaitu beasiswa.
Bisakah membayangkan seperti itu?” bijak kak Virna panjang lebar, “Beasiswa bisa meringankan beban bapak dan
ibu bahkan meraka merasa bahagia mempunyai anak seperti itu.” Lanjutnya.
“Benarkah?”
“Betul
itu. Jadi rajin belajar, ya! Ingat, jangan mengharapkan sesuatu. Karena
beasiswa itu datang dengan sendirinya. Ok.”
Tiba-tiba aku merasa bersemangat di
buatnya.
“Ok!” seruku terperanjat bangun, “Kak,
aku pulang dulu, ya…mau belajar!”
“Hati-hati.
Ingat, doakan bapak dn ibu supaya mereka tetap mendapatkan rejeki untuk
membiayai sekolahmu, ya!”
“Siip…”
Sebelum sesaat aku melangkahkan
kaki, ada yang ingin kuucapkan pada kak Virna terlebih dahulu.
“Kak
Virna, terima kasih. Mau pulang bersama?”
“Matahari
belum terbenam, Dino?”
“Ok, Dino duluan ya, kak!” sahutku
melengos.
“Senyum,
dong?”
Gegas aku berbalik badan, kemudian
secepat kilat kuberikan saja senyuman yang mengembang untuk kak Virna. Lantas
aku pun beranjak. Berlalulah aku darinya.
*
Sesampainya
di rumah, terlihat ayah dan ibuku sedang menggelar tikar di ruang tamu.
“Asalamualaikum…”
sahutku menghampiri sambil menyalami mereka.
Mereka pun reflek menyambut
salamku, “Walaikumsalam…”
“Habis
kemana saja kamu, Dino? Pulang sekolah bukannya langsung ke rumah, malah main.”
Kata ibu.
“Bapak
sama ibu mengkhwatirkanmu,” sambung ayah.
Aku menundukkan kepala, menghormati
mereka saat berbicara.
“Ya,
sudah.… sekarang kamu cepat sana mandi! Nanti bantu bapak dan ibu di sini.” Ibu
menyergah dengan pelan.
“Ibu,
tunggu dulu.” Potong ayah. “Lebih baik, kita membiarkan si Dino untuk belajar
telebih dahulu seusai mandi nanti.” Lanjutnya.
“Ya,
sudah terserah bapak saja.” Timpal ibu. Lalu beliau menatapku sambil berkata,
“Dino, cepat mandi, lalu belajar. Kalau sempat ada waktu bantu-bantu bapak sama
ibu di sini, ya?”
“Baik,
bu. Dino pasti selesai belajarnya saat menjelang adzan magrib tiba.”
“Cepat
sekali. Ini saja sudah memasuki ashar. Dino, jangan terburu-buru kalau sedang
belajar.” Tukas ayah.
“Nggak
kok, Pak? Cuma, Dino kepengen cepat-cepat membantu bapak sama ibu di sini. Kan
habis magrib ada acara tahlilan di rumah ini?”
Tampak ayah dan ibu terkesiap mendengar
ucapanku barusan.
“Kami
kira, kamu lupa, nak?” kompak mereka.
“Nggak
dong, pak, bu? Masa acara tahlil istimewa, lupa? Ini kan hari ke seratus
sepeninggal kak Virna.” Sahutku seraya beranjak menuju kamar mandi.
“Kamu
pasti rindu, ya?!” seru Ayah tersiur-siur hingga ke telingaku.
Rindu…, tentu saja. Malahan setiap
hari. Dan mereka tak pernah tahu bahwa sebenarnya aku selalu bertemu dengan kak
Virna di ujung dermaga. Tatkala pula memberikan nasihat berharga jika aku
sedang di landa masalah.
***
Karya : Yan Yuliani
di muat pada tanggal 5 juni 2010,
Kabar Cirebon.
Sabtu, 09 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)