Rabu, 30 November 2011

CERPEN Remaja



Vela Vela
Biasanya, jika ada tugas dari guru untuk mengharuskan pergi ke perpustakaan, dengan terpaksa aku memasukinya. Padahal, aku sama sekali tidak menyukai perpustakaan. Lawong, aku anak band, kok? Masa bergulat dengan ruang perpustakaan? Kurang elit, dong? Menurutku, kurang sepadan denganku, itu saja.
Aku bersama keempat orang temanku sudah membentuk sebuah band, dan aku bagian gitarisnya. Saat ini, bandku ingin sekali ikut festival, namun kami belum mendapatkan info ada festival band atau tidaknya. Entahlah! Hanya saja, aku mendengar rumor  bahwa di salah satu surat kabar harian memuat info seputar festival band. Tetapi, yang menjadi pertanyaanku, surat kabar apa yang memuat info festival band itu? Kan, banyak surat kabar? Surat kabar lokal dan surat kabar nasional, yang mana? Ah, daripada pusing-pusing , lebih baik aku periksa saja surat kabar satu persatu. Toh, nanti juga tahu surat kabar mana yang memuat info festival band. Inilah bagian yang paling menjengkelkan. Pasalnya, aku harus  memasuki perpustakaan yang jelas-jelas banyak macam-macam surat kabar se-Indonesia di tempat itu. Menyebalkan.
Jam istirahat begini, seharusnya aku sedang berada di kantin. Tapi karena alasan tadi, ingin memeriksa semua surat kabar se-Indonesia di perpustakaan sekolah. Parahnya, keempat orang temanku itu tak ada yang ingin ikut. Menjengkelkan, bukan? Namun demikian, aku tetap melangkahkan kaki dengan tegap seperti  jalanku yang biasanya, tak pernah terlihat loyo. Lagipula, untuk apa loyo? Kalau aku berjalan loyo, malu dengan nama yang tercantum di dada seragam SMAku yeng tertuliskan Adityo Kusuma, nama pemberian dari Ayah untukku.
Langkahku semakin mendekati perpustakaan, hingga akhirnya aku sampai juga. Aku lantas mencari-cari tempat penyimpanan surat kabar di ruang perpus.
Selang beberapa menit, setelah berhasil menemukan tempat penyimpanannya, kini di tanganku sudah kudapati beberapa surat kabar yang berbeda-beda, baik surat kabar lokal maupun nasional. Aku pilih edisi terbaru, tentu saja. Lumayan cukup banyak surat kabar yang kudapat itu. Dan aku pun, segera mencari tempat duduk yang sepi.
Setelah kudapatkan tempat duduk yang kanan, kiri, depan dan belakangku tak ada seseorang, bersegeralah aku membuka satu surat kabar. Perlahan jari jemariku membuka halaman demi halaman. Baru beberapa halaman, kenapa hatiku terdorong untuk membaca kolom berita? Dari judul berita yang termuat, benar-benar menarik. Sayang, rasa gengsiku inilah, enggan untuk membacanya. Jadi terlewatkan begitu saja. Namun, akhirnya aku membacanya juga saat kubuka surat kabar yang ketiga. Surat kabar yang kubaca ini, surat kabar lokal dari kotaku sendiri, Cirebon. Banyak informasi yang kudapat setelah beberapa artikel berita yang kubaca, ada berita seputar kecelakaan, musibah, perampokan, dan berita yang sedang in yaitu tentang pengeboman bunuh diri di masjid Adz-Dzikra Mapolresta Cirebon. Luar biasa berita ini, penulisan artikel beritanya pun tersaji begitu aktual. Namun, tetap saja ada kekurangan di artikel berita tersebut. Huh, kenapa aku begitu mengritik penulisan artikel berita? Padahal aku bukan penulis artikel melainkan pengarang lagu yang kerjaannya menulis lagu. Tapi ya, sudahlah! Tak perlu dipikirkan tentang penulisan artikel berita. Cukup menjadi pembaca saja.
Benar-benar aku terlena membaca. Parah! Saking terlenanya hingga aku tak pernah menyadari kapan ada dua cewek duduk di belakangku. Tahu-tahu mereka sudah duduk membelakangi punggungku, dan aku sangat mengenali suara mereka. Ya, mereka adalah Vela dan Nina. Setelah aku amati tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, aku yakin mereka sedang mengobrolkan sesuatu, membuatku berhenti membaca bahkan untuk mencari info festival band yang semula menjadi incaranku pun kuhentikan sejenak. Aku mulai pura-pura membaca, mulailah aku melancarkan aksi menguping.
“Pokoknya aku gak mau punya suami berprofesi guru, dokter, hakim, jaksa, maupun polisi,” sahut Vela yang terdengar jelas di telingaku.
Cewek yang satu ini membuatku jatuh hati, aku naksir berat. Namun ia tak pernah tahu bahwa aku menaruh rasa padanya, sudah enam bulan lamanya.
“Kenapa?” tanya Nina, pertanyaannya sama percis seperti isi hatiku.
“Gak pa-pa. Cuma aku gak senang saja,” jawab Vela. Lalu ia melanjutkan, “Aku mau punya suami yang berprofesi sebagai pengacara.”
“Hah, pengacara? Kamu yakin? Apa gak takut suamimu yang pengacara itu dibunuh sama cliennya sendiri? Kan, bisa jadi clien kecewa, dan gak terima lalu nekat membunuh pengacaranya? Seperti kasus ayahnya Lina, yang ayahnya berprofesi sebagai pengacara, almarhum ayah Lina terbunuh oleh cliennya. Kamu gak takut?” terang Nina panjang lebar.
“Ah, kalau begitu ralat, deh! Mendingan, punya suami pengusaha. Terserah pengusaha apaan, mau pengusaha tempe, tahu, sandal, yang penting pe-ngu-sa-ha.”
“Bagus mau punya suami pengusaha. Tapi tahu, gak? Rata-rata pengusaha, apalagi pengusaha besar, pasti beristri lebih dari satu, lho! Kamu mau hidup berpoligami?” goda Nina.
“Ih, gak deh….kalau berujung poligami! Aku gak mau dimadu!” sahut Vela bernada sewot.
Aneh mereka itu, masih duduk di kelas XI SMA sudah membicarakan tentang suami. Boleh-boleh saja berkeinginan punya suami ini-itu. Tapi mana calonnya? Ah, bodoh amat, yang jelas aku akan tahu seperti apa kriteria calon suami untuk Vela. Supaya aku tahu dan mendaftar.
“Gimana kalau punya suami artis? Bergelut di dunia entertainment gitu…?” sergah Nina.
Wah, aku sependapat dengan Nina! Aku kan, calon artis di negeri ini? ! band yang terbentuk bersama teman-teman akan sukses besar. Lalu aku sebagai gitaris sekaligus penulis lagu akan manjadi artis juga. Sudah Vela setuju saja dengan pendapat dari Nina itu.
“Gak, ah! Aku gak mau punya suami artis,” jawab Vela, sangat menusuk ke telingaku.
“Kenapa?” Nina menanyakan.
Ya ampun! Aku si Adityo Kusuma yang akan menjadi artis gak akan menceraikanmu. Percayalah Darling, Vela. Huh, aku semakin geregetan ingin mengucapkan hal itu padanya. Geram aku menguping seperti ini.
“Lalu kamu maunya punya suami berprofesi apa?” tanya Nina bernada sedikit menekan dari sebelumnya.
“Ehmm...apa ya? Sebenarnya, dari dulu aku suka sama cowok yang berprofesi sebagai Reporter. Kalau gitu, aku mau punya suami reporter saja. Soalnya, dia bagaikan pahlawan dunia yang berani mempertaruhkan nyawanya hanya untuk meliput berita,” kata Vela, lalu ia melanjutkan, “Nah, kalau suamiku reporter, setiap pagi, setiap saat, pasti aku akan diwawancarainya. Seperti misalnya, ‘selamat pagi, istriku? Sudah sarapan belum?’ pasti gitu! Romantis, kan?”
Reporter? Itukah yang kau inginkan, Vela? Sungguh, tak bisa kubayangkan jika aku menjadi reporter, lalu bagaimana dengan gitarku? Entahlah! Kini telingaku tak dapat menguping pembicaraan mereka lagi. Sudah terlalu menusuk.
Dua menit aku terdiam karena tenggelam dalam pikiranku sendiri, seketika aku mendengar suara yang lembut namun tulus dari belakangku. Suara Vela, tentu saja.
“Aku ingin punya suami reporter, Nin.” Vela bernada datar.
Kalau itu maumu, Vela. Baiklah!
Niatku mencari info festival band, kini kuurungkan. Segera aku berdiri dan lekas menyimpan kembali semua surat kabar ke tempat semula. Lalu bergegas melancarkan aksi baruku yaitu mencari buku. Aku harus menemukan buku yang kuincar sebelum Vela keluar dari perpustakaan ini. Gegas kumencari buku ke rak satu ke rak yang lain. Dan tak lama mencari, akhirnya… dapat!
Setelah itu, aku coba menyapu pandangan ke ruang perpustakaan. Apa yang kulihat? Tak ada Vela di tempat yang sedari tadi ia duduki bersama Nina! Sial, kemana mereka? Gawat kalau mereka sudah keluar dari perpustakaan ini, nanti rencanaku gagal. Sejurus kulangkahkan kaki kembali, secara tiba-tiba aku mendapati mereka di tempat peminjaman buku. Nampak mereka sedang mengantri dan antrian mereka pun ada di barisan terakhir. Segera aku menghampiri.
Gugup yang kurasa saat ada di belakang Vela. Canggung namun aku harus berani mengawali. Jika tidak? Oh, no!
“Ehm… permisi,” sahutku mengawali.
Tertoleh wajah mereka ke arahku. Penuh keheranan dari raut wajah mereka, tentu saja.
“Bisa bantu aku, gak? Gini, aku belum menjadi anggota perpustakaan di sekolah ini. Otomatis belum punya kartu anggota. Tapi aku mau pinjam buku ini. Boleh gak, pinjam buku ini pakai kartu kalian? Pakai kartu siapa gitu yang mau berkenan?”
“Pakai kartu kamu saja, Nin,” sahut Vela pada Nina.
“Yah, kalau kartu aku gak tertinggal di rumah, aku juga pasti pinjam buku kali,” tandas Nina memperlihatkan tangan kosongnya.
“Ehm… gimana, ya?” Vela terbata.
“Ayo, dong?! Please….” Aku memohon. “Buku yang ingin aku pinjam ini sangat penting. Walaupun besok aku akan register, belum tentu buku ini masih ada di perputakaan, malah dipinjam sama orang lain, gimana? Please, mau ya?” lanjutku.
“Boleh, deh! Tapi ingat, ya! Buku yang kamu pinjam itu jangan sampai rusak, bahkan hilang! Kan, pakai kartuku? Nanti kalau terjadi sesuatu pada buku yang kamu pinjam itu, aku yang bertanggung jawab, lho!” seru Vela bernada pelan.
“Sip, deh! Tenang saja, gak akan rusak, hilang ataupun telat pengembaliannya.”
“Ok!” Vela tersenyum, “Mana buku yang mau kamu pinjam? Sini biar aku bawa!” lanjutnya.
“Memang buku apa, sih? Yang kamu pinjam itu?” sergah Nina menjatuhkan pandangannya ke buku yang kuserahkan pada Vela. Kening Nina seketika mengerut sambil berkata, “Gak salah kamu pinjam buku ini? Aku kira buku tentang musik? Secara kamu kan, gitaris dari band Mietal? Kok, pilih buku ‘Kiat Menulis Artikel’? apa ada tugas dari guru?”
“Gak ada. Cuma ada hubungannya dengan cita-citaku yang ingin menjadi Reporter. Itu saja.” Terangku, sejenak kulirikan ke arah Vela, hanya sekali lirik. Nampak ia lekas menundukkan kepala setelah mendengar kata reporter dan lantas membuka buku yang kuserahkan tadi. Kemudian aku melanjutkan, “Dengan meminjam buku ‘Kiat Menulis Artikel’ semoga bisa menuntun aku bagaimana menulis artikel berita secara baik dan benar. Menulis artikel terutama artikel berita menjadi langkah awalku untuk menjadi reporter sebelum masuk kuliah. Dilatih dari sekarang, begitu.”
“Lantas bagaimana dengan gitarmu? Semua siswa sekolah ini tahu bahwa kamu hobi main gitar.” Nina menyergahi.
“Hobi main gitar gak akan aku tinggalkan. Mungkin disuatu hari nanti, aku akan tetap gabung dengan band Mietal. Hanya saja, aku bekerja di belakang panggung, cukup menulis lagu. Dan aku jamin dengan berprofesi sebagai reporter, aku masih bisa main gitar. Sebab, kalau aku sedang bertugas untuk meliput berita musibah ataupun peperangan, lumayan aku bisa menghibur orang-orang yang ada di barak pengungsian dengan gitarku.”
“Ooo…,” Nina mengangguk paham sambil mengembungkan kedua pipinya.
“Oya,  tadi kamu bilang, besok mau register, ya? Gimana kalau aku ikut bantu? Nanti aku beritahu persyaratannya menjadi anggota perpustakaan itu seperti apa?” Vela mengalih pembicaraan.  
“Wah, boleh..boleh! mohon bantuannya, ya!” sergahku pada Vela, kemudian aku berpura-pura berpikir, mungkin akan menyerempet ke akting, “Bye the way, kamu itu Vela, bukan? Siswa yang pernah menjuarai karya tulis ilmiah di Bandung itu, kan?” lanjutku.
“Iya, benar.”
“Wah…kamu hebat, ya! Termasuk siswa berprestasi di sekolah ini.”
“Ah, gak juga. Justru band Mietal lah yang berpretasi bisa mengharumkan nama sekolah ini.”
Aku mengucek kepala, merasa canggung dipuji.
“Ah, biasa saja, “ jawabku tersenyum malu. “Oya! Kamu kan, jago menulis karya ilmiah? Bagi-bagi ilmu seputar menulis, dong? Kayaknya, aku akan kebingungan mencerna kata-kata yang ada di buku yang ingin kupinjam. Yaaa, itupun kalau kamu mau membantu.” Lanjutku bernada pelan.
“Dengan senang hati, aku akan berbagi. Tapi aku juga belum begitu jago, lho! Jadi, kita sama-sama belajar. Besok, sesudah aku membantumu register. Langsung belajar bersama saja, ya!” sahut Vela.
“Ok, makasih ya!” seruku yang mungkin terlihat sumringah di mata mereka.
“Ekhem! Kayaknya aku gak bisa ikut, tuh! Mau latihan basket. Sorry, ya!” seru Nina.
Tampaknya Nina mengerti atas maksudku ini pada Vela. Pendekatan. Syukurlah…! Mudah-mudahan pendekatanku kepada Vela tidak hanya hari ini, maupun besok. Tetapi juga, seterusnya. Aku harap begitu.
Aku rela bergulat dengan ruang perputakaan ini. Vela…Vela…..Duniaku teralihkan olehmu.
Dimuat pada tanggal 26 NoV 2011 di KABAR CIREBON

FOTO KELUARGA





Jumat, 18 November 2011

SYAIR INDAH

syair ini saya akan masukkan ke dalam kumpulan kisah2 romantic yang saya ambil dari berbagai sumber (buku) yang pernah saya dapatkan.
Lantas  kumpulan kisah2 romantis itu akan saya di JADIKAN SEBUAH BUKU, tapi  BUKU YANG NANTINYA INI BUKAN UNTUK DIPERJUAL BELIKAN di toko buku, MELAINKAN UNTUK SEBUAH SOUVENIR PENIKAHAN SAYA nanti. Dan akan saya selipkan kishku bersama calon pendampingku di buku tersebut.

semua berawal dari kedua mata
ketika aku hanya berani mencuri pandang
wajahmu di sana
dengan pakaian rapat tak kau biarkan auratmu
terbuka
karena memang tak selayaknya bisa dipandang
oleh sembarang mata
maka seiring perjalanan masa
kumulai beranikan diri tuk bertanya
tuk selanjutnya berbagi cerita
telah kukatakan kepadamu semenjak awal mula
bahwa aku adalah lelaki ibuku sepanjang masa
sebagai wujud bakti sebagaimana rasul telah
bersabda
“ibumu, ibumu, ibumu!” begitulah dalam sebuah
hadist yang pernah kubaca
“lalu ayahmu!” sebagai kelanjutan ucapan dari
lidah yang mulia
sebuah jawaban darimu membuatku begitu lega
kau berkata bahwa lebih baik memiliki suami yang
berbakti daripada yang durhaka
kau berkata bahwa lebih baik memiliki suami yang
dermawan daripada yang bakhil harta
dan kau pun berharap bahwa pendampingmu kelak
bisa membuatmu bahagia
kau pernah berakata ingin segera menikah sebagai
suatu rencana
bila kelak Allah mempertemukanmu dengan jodoh
pilhan – Nya
agar mampu menjaga kemurnian dan kesucian
niatmu dalam mewujudkan berbagai cita
serta menjadikanmu lebih kuat kalau cobaan dan
ujian datang  menerpa
karena akan ada seseorang yang insya Allah akan
mendampngi senantiasa
namun yang harus kau tahu adalah bahwa aku
lelaki biasa
segala kelebihan dan kelelmahan pastilah kupunya
senaglah hati ketika mengetahui dirimu rutin
dalam sebuah tarbiyah
tidak seperti aku yang hanya pernah msuk 
madrasah
mulai ibtidaiyah, tsanawiyah namun tidak lanjut
ke aliyah
namun sekarang aku sudah lulus kuliah
saat itu pun aku sudah memiliki ma’isyah
teman-temanku berkata, bahwa sudah waktunya
bagiku mencari ‘aisyah
mungkin dengan simpanan yang ada cukuplah
untuk sebuah walimah
tentu saja yang sedehana dan bukan yang meriah
dan aku pun belum sanggup untuk
menyediakanmu sebuah rumah
karena itu kuberpikir untuk mengontrak dulu
sajalah
suatu ketika ketika kau bertanya tentang poligami
kujawab bahwa itu adalah ketentuan Ilahi
tentu saja aku menyetujui
lantas kau bertanya apakah aku akan
melakuknnya suatu saat nanti
kujawab apa mungkin bila adil sebagai syarat
utama tak mampu kumiliki
engkau tersenyyum dimulut atau mungkin sampai
ke hati
sambil mengakui bahwa dirimu belum bisa
menerima bila hal itu terjadi
dan dirimu juga tak bisa menyamai saudah binti
zam’ah istri sang nabi
yang tulus iklhas kepada ‘aisyah dalam berbagi
suatu ktika giliran aku bertanya tentang
kemampuanmu bertilawah
kau menjawab bisa walau tak mau dibandingkan
dengan para qoriah
karena kau merasa masih banyak berbuat salah
dalam mengucap hukum tajwid dan huruf-huruf
hijaiyah
insya Allah kita kan bersama-sama belajar bila
kelak kita menikah
untuk menwujudkan keinginanmu agar bisa
menerangi setiap ruang rumah
dengan alunan suara al-quran yang merupakan
ayat-ayat qauliyah
dari situ mungkin kita bisa membaca ayat-ayat
kauniyah
untuk memastikan keyakinanku untuk menikah
kau pun mngundangku ke tempat temanmu
seorang murabbiyah
dan tak lupa kau  undang aku tuk datang ke rumah
sebagai awal perkenalan dengan bunda dan ayah
dan sebuah titik temu tercapailah
isikharah mencari jawaban tuk menggapai alhul
fillah wa lillah
dalam doa ku brsimpuh pasrah
memohon datangnya jawaban kepada Sang
Pemberi  Hidayah
bila jawaban itu masih menggantung di langit,
maka turunkanlah
bila jawaban itu masih terpendam di perut bumi,
maka keluarkanlah
bila jawaban itu sulit kuraih, maka mudahkanlah
bila jawaban itu masih jauh, maka dekatkanlah



Teruntuk calon istriku
Terima kasih atas sebuah ta’aruf yang indah
Bila datang jawaban itu, kumohon agar memanggilku
Dengan sebutan “abang”
Jambangsblog


Semua ketikan sesuai apa yang saya lihat dan baca.
Sayir indah ini sya dapatkan dari buku yang berjudul ‘Istikharah cinta’, dan buku itu pun mengambil syair ini di kutip dari

sekali lagi,,,,
syair ini saya akan masukkan ke dalam kumpulan kisah2 romantic yang saya ambil dari berbagai sumber (buku) yang pernah saya dapatkan.
Lantas  kumpulan kisah2 romantis itu akan saya di JADIKAN SEBUAH BUKU, tapi  BUKU YANG NANTINYA INI BUKAN UNTUK DIPERJUAL BELIKAN di toko buku, MELAINKAN UNTUK SEBUAH SOUVENIR PENIKAHAN SAYA nanti. Dan akan saya selipkan kishku bersama calon pendampingku di buku tersebut.