Vela Vela
Biasanya, jika ada tugas dari guru untuk mengharuskan pergi ke
perpustakaan, dengan terpaksa aku memasukinya. Padahal, aku sama sekali tidak
menyukai perpustakaan. Lawong, aku anak band, kok? Masa bergulat dengan ruang
perpustakaan? Kurang elit, dong? Menurutku, kurang sepadan denganku, itu saja.
Aku bersama keempat orang temanku sudah membentuk sebuah band, dan aku
bagian gitarisnya. Saat ini, bandku ingin sekali ikut festival, namun kami
belum mendapatkan info ada festival band atau tidaknya. Entahlah! Hanya saja,
aku mendengar rumor bahwa di salah satu surat kabar harian memuat info
seputar festival band. Tetapi, yang menjadi pertanyaanku, surat kabar apa yang
memuat info festival band itu? Kan, banyak surat kabar? Surat kabar lokal dan
surat kabar nasional, yang mana? Ah, daripada pusing-pusing , lebih baik aku
periksa saja surat kabar satu persatu. Toh, nanti juga tahu surat kabar
mana yang memuat info festival band. Inilah bagian yang paling menjengkelkan.
Pasalnya, aku harus memasuki perpustakaan yang jelas-jelas banyak
macam-macam surat kabar se-Indonesia di tempat itu. Menyebalkan.
Jam istirahat begini, seharusnya aku sedang berada di kantin. Tapi karena
alasan tadi, ingin memeriksa semua surat kabar se-Indonesia di perpustakaan
sekolah. Parahnya, keempat orang temanku itu tak ada yang ingin ikut.
Menjengkelkan, bukan? Namun demikian, aku tetap melangkahkan kaki dengan tegap
seperti jalanku yang biasanya, tak pernah terlihat loyo. Lagipula, untuk
apa loyo? Kalau aku berjalan loyo, malu dengan nama yang tercantum di dada seragam
SMAku yeng tertuliskan Adityo Kusuma, nama pemberian dari Ayah untukku.
Langkahku semakin mendekati perpustakaan, hingga akhirnya aku sampai
juga. Aku lantas mencari-cari tempat penyimpanan surat kabar di ruang perpus.
Selang beberapa menit, setelah berhasil menemukan tempat penyimpanannya,
kini di tanganku sudah kudapati beberapa surat kabar yang berbeda-beda, baik
surat kabar lokal maupun nasional. Aku pilih edisi terbaru, tentu saja. Lumayan
cukup banyak surat kabar yang kudapat itu. Dan aku pun, segera mencari tempat
duduk yang sepi.
Setelah kudapatkan tempat duduk yang kanan, kiri, depan dan belakangku
tak ada seseorang, bersegeralah aku membuka satu surat kabar. Perlahan jari
jemariku membuka halaman demi halaman. Baru beberapa halaman, kenapa hatiku terdorong
untuk membaca kolom berita? Dari judul berita yang termuat, benar-benar
menarik. Sayang, rasa gengsiku inilah, enggan untuk membacanya. Jadi
terlewatkan begitu saja. Namun, akhirnya aku membacanya juga saat kubuka surat
kabar yang ketiga. Surat kabar yang kubaca ini, surat kabar lokal dari kotaku
sendiri, Cirebon. Banyak informasi yang kudapat setelah beberapa artikel berita
yang kubaca, ada berita seputar kecelakaan, musibah, perampokan, dan berita
yang sedang in yaitu tentang pengeboman bunuh diri di masjid Adz-Dzikra Mapolresta Cirebon. Luar biasa berita ini, penulisan
artikel beritanya pun tersaji begitu aktual. Namun, tetap saja ada kekurangan
di artikel berita tersebut. Huh, kenapa aku begitu mengritik penulisan artikel
berita? Padahal aku bukan penulis artikel melainkan pengarang lagu yang
kerjaannya menulis lagu. Tapi ya, sudahlah! Tak perlu dipikirkan tentang
penulisan artikel berita. Cukup menjadi pembaca saja.
Benar-benar aku terlena membaca. Parah! Saking
terlenanya hingga aku tak pernah menyadari kapan ada dua cewek duduk di
belakangku. Tahu-tahu mereka sudah duduk membelakangi punggungku, dan aku
sangat mengenali suara mereka. Ya, mereka adalah Vela dan Nina. Setelah aku
amati tanpa menoleh sedikitpun ke belakang, aku yakin mereka sedang
mengobrolkan sesuatu, membuatku berhenti membaca bahkan untuk mencari info
festival band yang semula menjadi incaranku pun kuhentikan sejenak. Aku mulai
pura-pura membaca, mulailah aku melancarkan aksi menguping.
“Pokoknya aku gak mau punya suami berprofesi
guru, dokter, hakim, jaksa, maupun polisi,” sahut Vela yang terdengar jelas di
telingaku.
Cewek yang satu ini membuatku jatuh hati, aku
naksir berat. Namun ia tak pernah tahu bahwa aku menaruh rasa padanya, sudah
enam bulan lamanya.
“Kenapa?” tanya Nina, pertanyaannya sama percis
seperti isi hatiku.
“Gak pa-pa. Cuma aku gak senang saja,” jawab
Vela. Lalu ia melanjutkan, “Aku mau punya suami yang berprofesi sebagai
pengacara.”
“Hah, pengacara? Kamu yakin? Apa gak takut
suamimu yang pengacara itu dibunuh sama cliennya sendiri? Kan, bisa jadi
clien kecewa, dan gak terima lalu nekat membunuh pengacaranya? Seperti
kasus ayahnya Lina, yang ayahnya berprofesi sebagai pengacara, almarhum ayah
Lina terbunuh oleh cliennya. Kamu gak takut?” terang Nina panjang lebar.
“Ah, kalau begitu ralat, deh! Mendingan, punya
suami pengusaha. Terserah pengusaha apaan, mau pengusaha tempe, tahu, sandal,
yang penting pe-ngu-sa-ha.”
“Bagus mau punya suami pengusaha. Tapi tahu,
gak? Rata-rata pengusaha, apalagi pengusaha besar, pasti beristri lebih dari
satu, lho! Kamu mau hidup berpoligami?” goda Nina.
“Ih, gak deh….kalau berujung poligami! Aku gak
mau dimadu!” sahut Vela bernada sewot.
Aneh mereka itu, masih duduk di kelas XI SMA
sudah membicarakan tentang suami. Boleh-boleh saja berkeinginan punya suami
ini-itu. Tapi mana calonnya? Ah, bodoh amat, yang jelas aku akan tahu seperti
apa kriteria calon suami untuk Vela. Supaya aku tahu dan mendaftar.
“Gimana kalau punya suami artis? Bergelut di
dunia entertainment gitu…?” sergah Nina.
Wah, aku sependapat dengan Nina! Aku kan, calon
artis di negeri ini? ! band yang terbentuk bersama teman-teman akan sukses
besar. Lalu aku sebagai gitaris sekaligus penulis lagu akan manjadi artis juga.
Sudah Vela setuju saja dengan pendapat dari Nina itu.
“Gak, ah! Aku gak mau punya suami artis,” jawab
Vela, sangat menusuk ke telingaku.
“Kenapa?” Nina menanyakan.
Ya ampun! Aku si Adityo Kusuma yang akan
menjadi artis gak akan menceraikanmu. Percayalah Darling, Vela. Huh, aku
semakin geregetan ingin mengucapkan hal itu padanya. Geram aku menguping
seperti ini.
“Lalu kamu maunya punya suami berprofesi apa?”
tanya Nina bernada sedikit menekan dari sebelumnya.
“Ehmm...apa ya? Sebenarnya, dari dulu aku suka
sama cowok yang berprofesi sebagai Reporter. Kalau gitu, aku mau punya suami
reporter saja. Soalnya, dia bagaikan pahlawan dunia yang berani mempertaruhkan
nyawanya hanya untuk meliput berita,” kata Vela, lalu ia melanjutkan, “Nah,
kalau suamiku reporter, setiap pagi, setiap saat, pasti aku akan
diwawancarainya. Seperti misalnya, ‘selamat pagi, istriku? Sudah sarapan
belum?’ pasti gitu! Romantis, kan?”
Reporter? Itukah yang kau inginkan, Vela?
Sungguh, tak bisa kubayangkan jika aku menjadi reporter, lalu bagaimana dengan
gitarku? Entahlah! Kini telingaku tak dapat menguping pembicaraan mereka lagi.
Sudah terlalu menusuk.
Dua menit aku terdiam karena tenggelam dalam
pikiranku sendiri, seketika aku mendengar suara yang lembut namun tulus dari
belakangku. Suara Vela, tentu saja.
“Aku ingin punya suami reporter, Nin.” Vela
bernada datar.
Kalau itu maumu, Vela. Baiklah!
Niatku mencari info festival band, kini
kuurungkan. Segera aku berdiri dan lekas menyimpan kembali semua surat kabar ke
tempat semula. Lalu bergegas melancarkan aksi baruku yaitu mencari buku. Aku
harus menemukan buku yang kuincar sebelum Vela keluar dari perpustakaan ini.
Gegas kumencari buku ke rak satu ke rak yang lain. Dan tak lama mencari,
akhirnya… dapat!
Setelah itu, aku coba menyapu pandangan ke
ruang perpustakaan. Apa yang kulihat? Tak ada Vela di tempat yang sedari tadi
ia duduki bersama Nina! Sial, kemana mereka? Gawat kalau mereka sudah keluar
dari perpustakaan ini, nanti rencanaku gagal. Sejurus kulangkahkan kaki
kembali, secara tiba-tiba aku mendapati mereka di tempat peminjaman buku. Nampak
mereka sedang mengantri dan antrian mereka pun ada di barisan terakhir. Segera
aku menghampiri.
Gugup yang kurasa saat ada di belakang Vela.
Canggung namun aku harus berani mengawali. Jika tidak? Oh, no!
“Ehm… permisi,” sahutku mengawali.
Tertoleh wajah mereka ke arahku. Penuh
keheranan dari raut wajah mereka, tentu saja.
“Bisa bantu aku, gak? Gini, aku belum menjadi
anggota perpustakaan di sekolah ini. Otomatis belum punya kartu anggota. Tapi
aku mau pinjam buku ini. Boleh gak, pinjam buku ini pakai kartu kalian? Pakai
kartu siapa gitu yang mau berkenan?”
“Pakai kartu kamu saja, Nin,” sahut Vela pada
Nina.
“Yah, kalau kartu aku gak tertinggal di rumah,
aku juga pasti pinjam buku kali,” tandas Nina memperlihatkan tangan kosongnya.
“Ehm… gimana, ya?” Vela terbata.
“Ayo, dong?! Please….” Aku memohon.
“Buku yang ingin aku pinjam ini sangat penting. Walaupun besok aku akan
register, belum tentu buku ini masih ada di perputakaan, malah dipinjam sama
orang lain, gimana? Please, mau ya?” lanjutku.
“Boleh, deh! Tapi ingat, ya! Buku yang kamu
pinjam itu jangan sampai rusak, bahkan hilang! Kan, pakai kartuku? Nanti kalau
terjadi sesuatu pada buku yang kamu pinjam itu, aku yang bertanggung jawab,
lho!” seru Vela bernada pelan.
“Sip, deh! Tenang saja, gak akan rusak, hilang
ataupun telat pengembaliannya.”
“Ok!” Vela tersenyum, “Mana buku yang mau kamu
pinjam? Sini biar aku bawa!” lanjutnya.
“Memang buku apa, sih? Yang kamu pinjam itu?”
sergah Nina menjatuhkan pandangannya ke buku yang kuserahkan pada Vela. Kening
Nina seketika mengerut sambil berkata, “Gak salah kamu pinjam buku ini? Aku
kira buku tentang musik? Secara kamu kan, gitaris dari band Mietal? Kok, pilih
buku ‘Kiat Menulis Artikel’? apa ada tugas dari guru?”
“Gak ada. Cuma ada hubungannya dengan
cita-citaku yang ingin menjadi Reporter. Itu saja.” Terangku, sejenak kulirikan
ke arah Vela, hanya sekali lirik. Nampak ia lekas menundukkan kepala setelah
mendengar kata reporter dan lantas membuka buku yang kuserahkan tadi. Kemudian
aku melanjutkan, “Dengan meminjam buku ‘Kiat Menulis Artikel’ semoga bisa
menuntun aku bagaimana menulis artikel berita secara baik dan benar. Menulis
artikel terutama artikel berita menjadi langkah awalku untuk menjadi reporter
sebelum masuk kuliah. Dilatih dari sekarang, begitu.”
“Lantas bagaimana dengan gitarmu? Semua siswa
sekolah ini tahu bahwa kamu hobi main gitar.” Nina menyergahi.
“Hobi main gitar gak akan aku tinggalkan.
Mungkin disuatu hari nanti, aku akan tetap gabung dengan band Mietal. Hanya
saja, aku bekerja di belakang panggung, cukup menulis lagu. Dan aku jamin
dengan berprofesi sebagai reporter, aku masih bisa main gitar. Sebab, kalau aku
sedang bertugas untuk meliput berita musibah ataupun peperangan, lumayan aku
bisa menghibur orang-orang yang ada di barak pengungsian dengan gitarku.”
“Ooo…,” Nina mengangguk paham sambil
mengembungkan kedua pipinya.
“Oya, tadi kamu bilang, besok mau
register, ya? Gimana kalau aku ikut bantu? Nanti aku beritahu persyaratannya
menjadi anggota perpustakaan itu seperti apa?” Vela mengalih pembicaraan.
“Wah, boleh..boleh! mohon bantuannya, ya!”
sergahku pada Vela, kemudian aku berpura-pura berpikir, mungkin akan
menyerempet ke akting, “Bye the way, kamu itu Vela, bukan? Siswa yang
pernah menjuarai karya tulis ilmiah di Bandung itu, kan?” lanjutku.
“Iya, benar.”
“Wah…kamu hebat, ya! Termasuk siswa berprestasi
di sekolah ini.”
“Ah, gak juga. Justru band Mietal lah yang
berpretasi bisa mengharumkan nama sekolah ini.”
Aku mengucek kepala, merasa canggung dipuji.
“Ah, biasa saja, “ jawabku tersenyum malu.
“Oya! Kamu kan, jago menulis karya ilmiah? Bagi-bagi ilmu seputar menulis,
dong? Kayaknya, aku akan kebingungan mencerna kata-kata yang ada di buku yang
ingin kupinjam. Yaaa, itupun kalau kamu mau membantu.” Lanjutku bernada pelan.
“Dengan senang hati, aku akan berbagi. Tapi aku
juga belum begitu jago, lho! Jadi, kita sama-sama belajar. Besok, sesudah aku
membantumu register. Langsung belajar bersama saja, ya!” sahut Vela.
“Ok, makasih ya!” seruku yang mungkin terlihat
sumringah di mata mereka.
“Ekhem! Kayaknya aku gak bisa ikut, tuh! Mau
latihan basket. Sorry, ya!” seru Nina.
Tampaknya Nina mengerti atas maksudku ini pada
Vela. Pendekatan. Syukurlah…! Mudah-mudahan pendekatanku kepada Vela tidak
hanya hari ini, maupun besok. Tetapi juga, seterusnya. Aku harap begitu.
Aku rela bergulat dengan ruang perputakaan ini.
Vela…Vela…..Duniaku teralihkan olehmu.
Dimuat pada tanggal 26
NoV 2011 di KABAR CIREBON