Jumat, 19 Agustus 2011

Cerpen BINGKAI SENYUM


Bingkai Senyum
Namaku Lita, aku adalah cewek yang selalu dihiasi senyum. Senyum membuat wajahku yang terlihat biasa-biasa manjadi tampak cantik, serta senyum bisa menutupi gegundahan hati, emosi, dan rasa suntukku, bahkan rasa sakit hati.        
            Ada sesuatu hal yang membawaku tersenyum seceria ini, namun …. Hugh! Aku lupa apa yang menjadi alasannya, karena itu semua, berlangsung amat sangat lama sekali.
*
Reno, temanku. Lebih tepatnya, sahabat. Ia adalah cowok bertampang blesteran Indonesia-Jerman. Keluarga Ibu Reno berasal dari Jerman, sedangkan Ayah Reno berasal dari Indenesia tulen. Wajar, mempunyai keluarga yang berbeda negara menghasilkan anak blesteran. Dan tampang Reno yang blesteran itu sangat dipujai para cewek. Hanya saja, ada satu kekurangan yang terdapat di dalam diri Reno, membuat para cewek menjadi enggan memuja atau bahkan mengaguminya. Satu kekurangannya itu adalah senyum. Ia pelit senyum, malahan aku tak pernah melihatnya tersenyum. Paling-paling memulumkan senyum atau lebih parahnya lagi tersenyum tipis. Bagiku, itu sama saja bukan tersenyum, bukan tersenyum. Dan aku tidak habis pikir, mengapa Reno tidak ingin tersenyum padahal kedua orang tuanya sangat ramah, seharusnya Reno diwarisi sifat seperti mereka itu, bukan?
Entah! Apa yang menjadi daya tariknya hingga aku menjalin persahabatan dengannya hingga detik ini, dan aku pun merasa aneh mengapa ia mau bersahabat denganku dari SMP hingga kami duduk bersama di kelas XII.
Pernah aku menanyakan pada Reno tentang apa yang menjadi alasannya bersahabatan denganku. Lagi-lagi aku dengar jawaban darinya hanya satu, yaitu karena akulah yang selalu mengutarakan isi hatinya kepada orang lain melalui diriku, begitu. Mungkin tutur kataku yang sopan dan dihiasi senyum kali, ya? Entahlah! Yang jelas, aku seperti juru bicaranya saja.
            Meskipun Reno pelit akan senyum, tapi aku merasa nyaman. Sebab, ia selalu ada untukku, terlebih lagi perhatiannya yang begitu amat besar terhadapku, mengagumkan. Jika saja banyak orang yang tahu bahwa ia baik, mungkin para cewek-cewek tak perlu menjauh hanya gara-gara ia tak pernah tersenyum.
*
            Hari Minggu Reno mengajakku ke restoran yang ada di salah satu mall terbesar di Jakarta. Aku sangat senang ia menaktirku setelah kemarin-kemarin aku sempat ditaktir olehnya juga, dengan alasan sebagai ucapan terima kasih karena aku telah mengutarakan isi hatinya kepada teman-teman di kelas. Namun, kali ini apa alasannya ia menaktirku? Aku tidak tahu, ucapan terima kasih seperti kemarin-kemarin kah? Itu tidak mungkin!
            “Sekarang apa alasanmu menaktirku?” tanyaku sambil menyeruput kuah sup, lalu aku menatapnya dengan tersenyum, sambil melanjutkan, “Ucapan terima kasih??”
            “Bukan.”
            “Lantas??”
            “Aku ingin  seperti….sifat cowok pada umumnya.” jawabnya yang sama sekali tidak kumengerti.
Suasana hening seketika di antara kami.
Sedetik kemudian barulah ia berucap, “Mengutarakan isi hatiku padamu.”
Aku menatapnya lekat-lekat, jidatku pun ikut berkerut.
            “Aku menyukaimu, Lita. Aku sangat mencintaimu.”
Tersentak aku mendengarnya. Ya ampun! Ia berani mengatakan hal itu padaku? Bagaimana ini? Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih.
            “Kamu ini ngomong apa, sih??” Aku mencoba mengucapkan sesuatu dengan tersenyum.
            “Aku serius,” tandas Reno dengan nada bicara lebih menekan dari sebelumnya.
            “Kita kan, sahabatan?!”
            “Ya, aku tahu. Tapi aku merasa aneh dengan persahabatan kita ini!”
            Aku mencoba terus tersenyum, “Tidak ada yang aneh.”
            “Entah! Mungkin aku saja yang mempunyai perasaan itu. Ehm….apakah kamu bersedia menjadi pacarku?”
Ya ampun! Apa yang harus aku katakan, ini masalah perasaan. Perasaanku mengatakan ‘tidak’. Namun tidak dengan bibirku yang dihiasi senyum, aku menjawab, “Ya.”
Seketika Reno malah memulumkan senyum, sangat tipis sekali senyumannya itu, mungkin orang melihat, ia sama sekali tidak tersenyum.
            “Lagi-lagi tesenyum! Kamu selalu saja begitu. Mau sampai kapan?” tanyanya, “Senyum bukan berarti menutupi perasaan kita sendiri. Boleh kamu tersenyum sekalipun bilang tidak. Senyummu tadi tidak sesuai dengan hatimu, bukan?”
Entah kenapa aku merasa ia telah mengujiku tadi dengan berdalih ia menyukaiku. Apa mungkin begitu? Kalau seandainya benar teganya ia seperti itu padaku.
            “Lita, aku benci jika kamu mengobral senyum. Kamu boleh tersenyum kepada siapa pun, tapi berilah senyum terindahmu kepada orang yang kamu sayangi saja.” 
            “Kamu sendiri? Mana senyummu untuk orang yang kamu sayangi? Katanya kamu menyukaiku, berarti itu sayang, bukan? Mana senyummu untukku?”
            “Ada alasan tertentu yang membuatku enggan tersenyum,sahut Reno datar.
Lalu kami terdiam sejenak begitu kami mendapati sesosok gadis kecil yang tengah melintas di meja kami. Tiba-tiba secara mengejutkan boneka yang dipeluknya terjatuh ke lantai. Cepat-cepat aku menolongnya. Dan saat kuberikan boneka pada gadis kecil itu, senyumku pun tak luput untuk dituangkan, nampak ia membalas senyumku dengan antusias. Setelah itu, aku kembali duduk.
            “Beruntung sekali kamu itu, menolong sambil menuangkan senyum, dan di respon sangat baik.” tandas Reno. Ia terdiam sejenak, ada sesuatu pancaran kebencian di matanya, entah apa! Aku tidak tahu. Sedetik kemudian, lalu ia melanjutkan, “Dulu, aku memang di kenal ramah, dan periang. Namun, saat pertama kali aku menginjakkan kakiku ke Indonesia yang masih berumur empat tahun, aku menjadi pemurung dan enggan tersenyum, sesaat setelah bertemu dengan seorang gadis kecil di bandara soekarno-hatta. Kejadiannya sama seperti tadi, boneka yang dipegangnya jatuh ke lantai, aku pun menolongnya dengan dihiasi senyum yang mengembang, karena aku tahu orang Indonesia dikenal ramah, jadi aku melakukan hal itu. Sayang, ia tidak membalas senyumku! Jutek sekali dia itu! Sial! Justru aku digubrisnya! Lalu setelah itu, ia pergi entah kemana.
            “Itukah alasanmu untuk tidak tersenyum lagi? Karena sakit hati?”
            “Ya.” Jawab Reno.
            Aku tergugu dan simpati padanya. Hanya gara-gara tidak dibalas senyum oleh gadis kecil itu, ia menjadi seperti ini? Malas untuk tersenyum? Sungguh kasihan.
            “Lita.”
            “Ya.” Aku mendelik.
“Yang tadi, apa jawaban mu?” lanjutnya mengalih pembicaraan.
            “Hah???” cengangku. Berarti tadi ia tidak mengujiku! Itu benar-benar perasaannya? Lantas apa yang harus kujawab?? Hug... Biarlah sekarang aku bicara tanpa senyum, “Tidak sekarang, Reno. Aku butuh waktu untuk menjawabnya.”
            Reno mengangguk setuju, “Terserah.”
*
            Keesokan hari, aku jatuh sakit karena masuk angin saja, tapi perhatian Reno tak pernah pudar, ia selalu menjungukku jika aku sakit, meskipun sakit ringan seperti ini.
            “Kita ke pekarangan bunga, yuk?” sahutku lekas beranjak dari tempat tidur.
            Ruang demi ruang kami telusuri bersama demi menuju ke pakarangan bunga yang ada di belakang rumahku. Tiba di ruang makan, kami mendapatkan ibuku di sana. Beliau sedang memerlukan bantuan dari seseorang, Renolah yang akan membantunya untuk membawakan beberapa vas bunga ke ruangan lain sesuai pengharapan ibuku. Terpaksa aku menuju ke pekarangan bunga duluan.
            Tak lama berselang, Reno datang menghampiriku dengan membawa boneka panda di tangannya.
            “Lho, itu kan, boneka panda buatan ibuku? Aku taruh di lemari, kenapa sekarang berada di tanganmu?” tanyaku mendelik padanya sembari menyiram bunga yang sedari tadi kulakukan.
            Tepat di sampingku, ia memberhentikan langkahnya sambil berkata, “Karena boneka ini mengingatkan aku pada kejadian beberapa tahun silam yang lalu di bandara soekarno-hatta. Kamu masih ingat cerita itu?”
Aku mengangguk cepat, dan kuberhentikan saja aktivitas menyiram bunga sejenak. Kujatuhkan saja selang air di sembarang tempat.
            “Aku jamin mataku tidak salah lihat, boneka inilah yang aku ambil ketika seorang gadis kecil menjatuhkannya ke lantai.” Sahut Reno panjang lebar, ia terdiam sejenak, lalu ia menambahkan, “Gadis kecil itu adalah kamu, Lita.”
Sangat menghenyakkan, gadis kecil yang ia ceritakan padaku kemarin adalah aku? Tidak mungkin!
            Seketika otak memoriku menyergap lantas menelusuri jauh entah kemana, hingga terbentuk sebuah rangkaian ingatan. Disitulah aku melihat diriku sendiri yang sedang berdiri diantara orang-orang berseliweran. Masih terasa boneka yang kupeluk. Boneka panda. Ya, kini aku ingat sedang apa aku saat itu? Menunggu kedatangan Ayah di bandara Soekarno-Hatta. Beberapa tahun yang lalu memang aku pernah menunggu Ayah di bandara ketika aku masih bocah.
            Sudah sekian menit, aku terlepas dari genggaman Ibu. Dan tidak kuperdulikan, tetap berdiri memaku. Tetapi tak disangka, semakin lama menunggu, rasa kesalku timbul dengan cepat. Aku geram lalu kulangkahkan saja kakiku untuk pergi meninggalkan tempat. Kemudian tak cukup disitu, aku pun membantingkan boneka panda ke lantai. Biar saja! Aku kesal menunggu Ayah!
Setelah kubantingkan boneka, ada yang menahan langkahku dari samping kanan. Spontan langkahku terhenti, kepalaku pun ikut berhenti menatap ke depan, aku menunduk terpekur. Kulirikkan sejenak ke samping kanan, nampak sepatu cowok dan dua pasang sepatu lainnya, mungkin mereka orang tua dan anak.
            Sedetik kemudian, aku bisa melihat sebuah uluran tangan yang menyodorkan boneka panda ke arahku. Lantas aku mendongak perlahan. Tertatap wajah seorang cowok dengan senyuman mengembang. Ya, itu Reno yang belum aku kenal. Karena hatiku kesal pada Ayah kuluapkn saja kekesalan itu pada Reno, aku mengubrisnya! Dan menarik paksa boneka panda dari tangannya, serta kutinggalkan saja dia. Namun, baru beberapa meter kulangkahkan kaki, kutolehkan sesaat ke belakang, nampak ia masih terpaku, belum beranjak sedikitpun. Aku merasa jadi tak enak hati padanya.
***
            “Sepertinya kamu ingat sesuatu, Lita?” tanya Reno membuyarkan lamunanku.
            “Tentu. Sungguh benar-benar tidak di sangka, ya? Akulah yang membuatmu berhenti tersenyum.” Jawabku lirih, dan lekas menunduk, sambil bertanya, “Apa yang harus aku lakukan untuk membalas kesalahanku dulu agar kamu bisa tersenyum kembali?”
            Ia menarik daguku, “Gampang saja. Cukup dengan mempraktikan kembali adegan sewaktu di bandara dulu.”
Apa?? Terlalu kekanak-kanakan permitaannya. Hugh, tapi kupikir… tak apalah ini kesempatanku melihat senyumnya. Seperti apa dia nanti, paling-paling memulumkan senyum?
            Aku sudah berdiri tegak berada jauh di depan Reno, tak luput boneka panda ada digenggaman tanganku. Satu anggukan darinya, bertanda sudah dimulai. Aku pun mengikuti perintahnya, berjalan menunduk seperti yang pernah kulakukan dulu. Aku terus berjalan perlahan, dan entah kenapa rasa kesal menunggu Ayah beberapa tahun silam itu, bisa kurasakan kembali. Secara tanpa sadar, tanganku sudah terayun yang kemudian berniat ingin menjatuhkan boneka panda. Namun, hendak kujatuhkan boneka panda, kakiku terlebih dahulu tersangkut selang air! GABRUK! Ya ampun, aku terjatuh! Sial aku jatuh bersamaan dengan jatuhnya boneka panda dan lututku sakit sekali. Ini bukan adegan yang tidak diharapkan!
            Are you ok??” tanya Reno bersuara lembut yang tak biasanya. Aku heran, sejak kapan ia sudah berada di samping kananku?
            Karena aku masih merasakan sakit di daerah lutut yang kutahan, maka jawabku hanya satu anggukkan yang berarti aku baik-baik saja.
            Bukan hanya pertanyaan, ternyata Reno pun menyodorkan boneka panda ke arahku. Aku baru menyadarinya, cepat-cepat aku mendongak. Dan....dan apa yang kulihat??? Senyuman. Reno menuangkan senyuman yang mengembang. Sungguh indah senyumannya.
Itukah senyumanmu, Reno? Bathinku.
Aku masih terperangah dibuatnya, jantungku pun ikut bergetar. Kenapa, ya?
“Makasih,” ucapku terlontar begitu saja sembari mengambil boneka panda dari tangan Reno.
*
            Setelah melakukan adegan yang telah diperintahkan oleh Reno. Kami berdua tengah berdiri saling beriringan sejak beberapa menit yang lalu. Sekian menit itulah, jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang. Kututupi saja rasa itu dengan memainkan boneka panda di tangan.
            “Hebat! Aktingmu luar biasa! Apalagi ditambah sentuhan jatuh.”
            “Tadi itu aku tidak sedang berakting! Aku jatuh sungguhan! Gara-gara menaruh selang air yang tidak benar, jadi tersandung gitu deh..!”
            “Tapi dipikir-pikir, dengan kamu terjatuh, suasananya jadi lebih seru, bukan?” goda Reno, lalu ia melanjutkan, “Terima kasih, ya!”
            “Ya,” jawabku singkat.
            Sekarang aku ingat mengapa aku selalu mengumbar senyum. Ada hubungannya dengan beberapa tahun silam itu. Ya, aku ingat alasannya. Begini, seusai Reno menolongku yang kuacuhkan dan berhasil menemukan Ibu. Ayah pun akhirnya tiba di bandara. Sontak aku menyambut beliau dengan sumringah. Tentu, Ayah terkejut melihat raut wajahku. Sebab aku dikenal sangat jutek.
            “Anak Ayah senang sekali,” ujar Ayah menangkap dan menggendongku kala itu.“Siapa yang merubahmu seperti ini, nak?” Ayah menanyakan.
            Pasti wajahku memerah di mata Ayah.
            “Ayah, Lita ingin menjadi orang yang selalu tersenyum. Bagaimana caranya?” ucapku benar-benar polos dengan disertai senyuman. Kulihat Ayah belum mempercayai ini semua.
            “Gampang saja, nak! Ayah dan Ibu akan mengajarkan cara tersenyum yang baik dan sopan santun setelah tiba di rumah nanti.”
            “Janji, ya! Soalnya Lita mau membalas senyum seseorang. Begitu, Ayah.”
            Andai Reno tahu bahwa aku sebenarnya melakukan ini, hanya ingin membalas senyumannya yang dulu pernah kuacuhkan, walaupun di benakku...tak mungkin aku bisa bertemu dia lagi. Tindakanku ini memang terkesan konyol. Tapi ini sebagai wujud rasa penyesalanku telah mengacuhkannya.
            Dan tanpa sadar ia ada di dekatku, sudah kubalaskan pula senyumnya, Reno pun kini bisa tersenyum kembali. Senyuman Reno itu membuatku ada rasa, bukan  rasa persahabatan. Melainkan, perasaan....apa ya? Ehmmm....
            Aku menerimamu menjadi kekasihku, Reno, Bathinku.
***
DIMUAT PADA TANGGAL 09 JULI 2011 DI KABAR CIREBON

MARIAH CAREY I'll Be There HD Michael Jackson Memorial Beyonce Usher Mad...


Add caption



















I'll be There
You and I must make a pact
We must bring salvation back
Where there is love
I'll be there
I'll reach out my hand to you
I'll have faith in all you do
Just call my name
And I'll be there

I'll be there to comfort you
Build my world of dreams around you
I'm so glad I found you yeah
I'll be there with a love so strong
I'll be your strength
You know I'll keep holding on


Let me fill your heart with joy and laughter
Togetherness, well it's all I'm after
Just call my name and
I'll be there
I'll be there to protect you
With an unselfish love that respects you
Just call my name
And I'll be there

Chorus:
I'll be there to comfort you
Build my world of dreams around you
You know I'm so glad that I found you
I'll be there with a love so strong
I'll be your strength
You know I'll keep holding on

See, if you should ever find someone new
I know she better be good to you
'Cause if she doesn't then
I'll be there

Don't you know baby yeah yeah
I'll be there
I'll be there
Just call my name and
I'll be there

I'll be there, baby
You know I'll be there
Just call my name and
I'll be there
Just look over your shoulder
Just call my name and
I'll be there






Christina Aguilera - Hurt + Lyrics (Live) HD HQ


Hurt_Christina Aguilera

Seems like it was yesterday when I saw your face
You told me how proud you were but I walked away
If only I knew what I know today

I would hold you in my arms
I would take the pain away
Thank you for all you've done
Forgive all your mistakes
There's nothing I wouldn't do
To hear your voice again
Sometimes I want to call you but I know you won't be there

I'm sorry for blaming you for everything I just couldn't do
And I've hurt myself by hurting you
Some days I feel broke inside but I won't admit
Sometimes I just want to hide 'cause it's you I miss
You know it's so hard to say goodbye when it comes to this

Would you tell me I was wrong?
Would you help me understand?
Are you looking down upon me?
Are you proud of who I am?
There's nothing I wouldn't do
To have just one more chance
To look into your eyes and see you looking back

I'm sorry for blaming you for everything I just couldn't do
And I've hurt myself
If I had just one more day, I would tell you how much that
I've missed you since you've been away

Oh, it's dangerous
It's so out of line to try to turn back time

I'm sorry for blaming you for everything I just couldn't do
And I've hurt myself

By hurting you

Dygta - Kesepian




kurindu disayangi
sepenuh hati
sedalam cintaku
setulus hatiku

kuingin memiliki
kekasih hati
tanpa air mata
tanpa kesalahan

*
bukan cinta
yang melukai diriku
dan meninggalkan hidupku
lagi

tolonglah aku
dari kehampaan ini
selamatkan cintaku
dari hancurnya hatiku
hempaskan kesendirian
yang tak pernah berakhir

bebaskan aku
dari keadaan ini
sempurnakan hidupku
dari rapuhnya jiwaku
adakah seseorang
yang melepaskanku
dari kesepian ini

back to *


Me: kesepian n sepi itu beda!
            Sebenarnya aku jijik dengan kata kesepian. Kayak orang apa aja, kesepian!?!
Tapi kali ini, mau tidak mau …munafik tidak munafik ternyata aku benar-benar tidak lagi merasa sepi melainkan kesepian.
Dan aku hanya bisa mengeluh, “Ya…Allah Hampa pisan…”
Rintihan itu selalu terucap dalam hati jika aku merasa sepi, rapuh, hampa, marah, kesal sedih yang tercampur aduk dan tidak bisa di sharing kepada siapapun, tak ada seseorang disamping hingga aku  merasa kesepian.
            Dibalik ini semua, aku belajar dan menemukan makna dari rasa sepi dan kesepian. Pengamatan baru, Insya allah akan kubagi ….butuh proses.
            Tantangan baru : menepis rasa kesepian…. Berusaha dan berdoa.
Berusaha : melakukan aktivitas meski sendiri dalam sepi.
                   Jangan lihat hp di siang hari dan malam hari.
Berdoa     : meski rapuh dan kehilangan harap, aku menginginkan ada secuil rasa bahagia di hatiku yang paling terkecil …. Amin.
Kesepian membuat ku kesal!!!
Feb 2011

Note : baru diketik bulan agustus, huh….lama bangeeet….>,<