Nasehat kakak
Debur
ombak selalu kudengar tiap hari, wajar rumahku kan dekat dengan laut? Ayahku
saja seorang nelayan. Ya…pastinya aku juga seorang anak nelayan, tetapi ayahku
tak pernah menyuruhku untuk menjadi seorang nelayan. Beliau selalu menasehatiku
bahwa aku harus lebih baik dari beliau, setidaknya tidak menjadi nelayan,
tentu. Entah apa yang menjadi alasannya! Aku tidak tahu. Yang jelas aku akan
menurut, dan kewajibanku sekarang adalah hanyalah belajar, serta membantu ibu
di pasar pelelangan ikan untuk menjual hasil tangkapan ayah, setiap pagi
sebelum berangkat ke sekolah.
Bagiku,
mendengar debur ombak seperti nyanyian seorang diva yang membangkitkan semangat
bagi pendengarnya. Tidak percaya? Nikmati saja.
Dan aku merasa kurang puas apabila
mendengar debur ombak hanya dari rumah saja. Maka dari itu, setiap pulang
sekolah aku selalu mengunjungi dermaga. Seperti saat ini, aku pun ke sana yang
masih mengenakan seragam putih merah.
Tepat di ujung dermaga sana, ada
sesosok wanita berjilbab yang tengah duduk sendirian. Wajahku kian menuangkan senyum padanya.
Lantas langkahku mendekati, dan begitu ada di sampingnya, gegas aku cepat-cepat
duduk.
“Sudah
lama duduk di sini, kak Virna?” tanyaku mengawali. Tertoleh wajah yang
kusayangi itu ke arahku.
“Ndak
juga, dek Dino,” jawabnya. “Kamu tahu, kenapa kakak duduk di sini?”lanjutnya
menanyakan.
Jawabanku hanya menggeleng kepala
sekuat-kuatnya.
“Karena
kakak ingin menanyakan sesuatu sama kamu.”
“Apa
itu?”
“Dengarkan
baik-baik, ya!” seru kak Virna. lalu ia melanjutkan, “Kenapa akhir-akhir ini
kamu jadi pemalas?”
“Masa?
Aku selalu bantuin ibu tiap pagi. Aku nggak malas kan, kalau begitu?”
“Bukan.
Maksud kakak, kenapa kamu jadi pemalas di sekolahmu?” tukas kak Virna bernada
pelan.
Mendengar
ucapannya itu, segera aku menurunkan pandangan ke laut. Aku rasa pekataan kak
Virna memang benar, akhir-akhir ini aku malas belajar, PR pun jarang
kukerjakan, sampai-sampai nilai ulangan jadi hancur-hancuran. Seketika aku
terkejut, tahu-tahu tangan hangat kak Virna sedang mengusap kepalaku. Sejak
kapan? Pasti mukaku masam di lihatnya sampai ia harus melakukan itu padaku.
“Kamu
ini bocah kecil yang masih duduk di kelas 4 SD. Harus rajin belajar,” kata kak
Virna.
Aku tetap menunduk terpekur.
“Tataplah
ke depan yang berada jauh darimu, Dino.”
Suara kak Virna kali ini membuatku
menurut. Gegas aku mendongak, melepaskan pandanganku lurus ke depan, dan
menegakkan dadaku sedikit.
“Lalu,
apa lagi yang harus Dino lakukan, kak?”
Tampak telapak tangan kak Virna
menutupi mulutnya untuk menahan tawa.
“Bukan
itu,” sahutnya.
“Lantas
apa?” aku meringis sambil menoleh ke wajah yang selalu kurindukan itu.
“Raih
cita-citamu, tataplah itu!”
“Tapi,
kak?”
“Kakak
tahu ....kamu sedang ada beban di pikiranmu itu. Makanya, kamu jadi malas
belajar.”
“Habis….mau
gimana lagi….Dino nggak bisa kosentrasi belajar kalau ada masalah tentang
keuangan sekolah.”
“Itukah
yang menjadi beban pikiranmu?”
“Ya,”
jawabku. “Kakak, ibu belum ngasih uang untuk beli buku lks, sppku juga
menunggak.” imbuhku bernada lirih.
“Lho…bukannya
sekolah dasar itu gartis? Terbebas dari uang apa pun?”
“Kata
siapa? Buktinya, masih bayar ini-itu.”
Tangan kak Virna kembali membelai
rambutku.
“Ya,
sudahlah. kamu ndak usah memikirkan hal itu. Biar bapak dan ibu saja yang
menanganinya. Kamu tetap belajar.”
“Tapi,
kak?”
“Coba
kamu bayangkan! Jika kamu rajin belajar, lalu kamu itu menjadi peringkat
pertama di kelas. Kemudian jaddilah kamu orang yang pintar? Enak, kan? Nah,
dari rajin belajarmu itu, pasti akan mendatangkan rejeki, yaitu beasiswa.
Bisakah membayangkan seperti itu?” bijak kak Virna panjang lebar, “Beasiswa bisa meringankan beban bapak dan
ibu bahkan meraka merasa bahagia mempunyai anak seperti itu.” Lanjutnya.
“Benarkah?”
“Betul
itu. Jadi rajin belajar, ya! Ingat, jangan mengharapkan sesuatu. Karena
beasiswa itu datang dengan sendirinya. Ok.”
Tiba-tiba aku merasa bersemangat di
buatnya.
“Ok!” seruku terperanjat bangun, “Kak,
aku pulang dulu, ya…mau belajar!”
“Hati-hati.
Ingat, doakan bapak dn ibu supaya mereka tetap mendapatkan rejeki untuk
membiayai sekolahmu, ya!”
“Siip…”
Sebelum sesaat aku melangkahkan
kaki, ada yang ingin kuucapkan pada kak Virna terlebih dahulu.
“Kak
Virna, terima kasih. Mau pulang bersama?”
“Matahari
belum terbenam, Dino?”
“Ok, Dino duluan ya, kak!” sahutku
melengos.
“Senyum,
dong?”
Gegas aku berbalik badan, kemudian
secepat kilat kuberikan saja senyuman yang mengembang untuk kak Virna. Lantas
aku pun beranjak. Berlalulah aku darinya.
*
Sesampainya
di rumah, terlihat ayah dan ibuku sedang menggelar tikar di ruang tamu.
“Asalamualaikum…”
sahutku menghampiri sambil menyalami mereka.
Mereka pun reflek menyambut
salamku, “Walaikumsalam…”
“Habis
kemana saja kamu, Dino? Pulang sekolah bukannya langsung ke rumah, malah main.”
Kata ibu.
“Bapak
sama ibu mengkhwatirkanmu,” sambung ayah.
Aku menundukkan kepala, menghormati
mereka saat berbicara.
“Ya,
sudah.… sekarang kamu cepat sana mandi! Nanti bantu bapak dan ibu di sini.” Ibu
menyergah dengan pelan.
“Ibu,
tunggu dulu.” Potong ayah. “Lebih baik, kita membiarkan si Dino untuk belajar
telebih dahulu seusai mandi nanti.” Lanjutnya.
“Ya,
sudah terserah bapak saja.” Timpal ibu. Lalu beliau menatapku sambil berkata,
“Dino, cepat mandi, lalu belajar. Kalau sempat ada waktu bantu-bantu bapak sama
ibu di sini, ya?”
“Baik,
bu. Dino pasti selesai belajarnya saat menjelang adzan magrib tiba.”
“Cepat
sekali. Ini saja sudah memasuki ashar. Dino, jangan terburu-buru kalau sedang
belajar.” Tukas ayah.
“Nggak
kok, Pak? Cuma, Dino kepengen cepat-cepat membantu bapak sama ibu di sini. Kan
habis magrib ada acara tahlilan di rumah ini?”
Tampak ayah dan ibu terkesiap mendengar
ucapanku barusan.
“Kami
kira, kamu lupa, nak?” kompak mereka.
“Nggak
dong, pak, bu? Masa acara tahlil istimewa, lupa? Ini kan hari ke seratus
sepeninggal kak Virna.” Sahutku seraya beranjak menuju kamar mandi.
“Kamu
pasti rindu, ya?!” seru Ayah tersiur-siur hingga ke telingaku.
Rindu…, tentu saja. Malahan setiap
hari. Dan mereka tak pernah tahu bahwa sebenarnya aku selalu bertemu dengan kak
Virna di ujung dermaga. Tatkala pula memberikan nasihat berharga jika aku
sedang di landa masalah.
***
Karya : Yan Yuliani
di muat pada tanggal 5 juni 2010,
Kabar Cirebon.