Jumat, 09 Juli 2010

cerpen 'nasehat kakak'


Nasehat kakak

            Debur ombak selalu kudengar tiap hari, wajar rumahku kan dekat dengan laut? Ayahku saja seorang nelayan. Ya…pastinya aku juga seorang anak nelayan, tetapi ayahku tak pernah menyuruhku untuk menjadi seorang nelayan. Beliau selalu menasehatiku bahwa aku harus lebih baik dari beliau, setidaknya tidak menjadi nelayan, tentu. Entah apa yang menjadi alasannya! Aku tidak tahu. Yang jelas aku akan menurut, dan kewajibanku sekarang adalah hanyalah belajar, serta membantu ibu di pasar pelelangan ikan untuk menjual hasil tangkapan ayah, setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah.
            Bagiku, mendengar debur ombak seperti nyanyian seorang diva yang membangkitkan semangat bagi pendengarnya. Tidak percaya? Nikmati saja.
Dan aku merasa kurang puas apabila mendengar debur ombak hanya dari rumah saja. Maka dari itu, setiap pulang sekolah aku selalu mengunjungi dermaga. Seperti saat ini, aku pun ke sana yang masih mengenakan seragam putih merah.
Tepat di ujung dermaga sana, ada sesosok wanita berjilbab yang tengah duduk sendirian.  Wajahku kian menuangkan senyum padanya. Lantas langkahku mendekati, dan begitu ada di sampingnya, gegas aku cepat-cepat duduk.
            “Sudah lama duduk di sini, kak Virna?” tanyaku mengawali. Tertoleh wajah yang kusayangi itu ke arahku.
            “Ndak juga, dek Dino,” jawabnya. “Kamu tahu, kenapa kakak duduk di sini?”lanjutnya menanyakan.
Jawabanku hanya menggeleng kepala sekuat-kuatnya.
            “Karena kakak ingin menanyakan sesuatu sama kamu.”
            “Apa itu?”
            “Dengarkan baik-baik, ya!” seru kak Virna. lalu ia melanjutkan, “Kenapa akhir-akhir ini kamu jadi pemalas?”
            “Masa? Aku selalu bantuin ibu tiap pagi. Aku nggak malas kan, kalau begitu?”
            “Bukan. Maksud kakak, kenapa kamu jadi pemalas di sekolahmu?” tukas kak Virna bernada pelan.
            Mendengar ucapannya itu, segera aku menurunkan pandangan ke laut. Aku rasa pekataan kak Virna memang benar, akhir-akhir ini aku malas belajar, PR pun jarang kukerjakan, sampai-sampai nilai ulangan jadi hancur-hancuran. Seketika aku terkejut, tahu-tahu tangan hangat kak Virna sedang mengusap kepalaku. Sejak kapan? Pasti mukaku masam di lihatnya sampai ia harus melakukan itu padaku.
            “Kamu ini bocah kecil yang masih duduk di kelas 4 SD. Harus rajin belajar,” kata kak Virna.
Aku tetap menunduk terpekur.
            “Tataplah ke depan yang berada jauh darimu, Dino.”
Suara kak Virna kali ini membuatku menurut. Gegas aku mendongak, melepaskan pandanganku lurus ke depan, dan menegakkan dadaku sedikit.
            “Lalu, apa lagi yang harus Dino lakukan, kak?”
Tampak telapak tangan kak Virna menutupi mulutnya untuk menahan tawa.
            “Bukan itu,” sahutnya.
            “Lantas apa?” aku meringis sambil menoleh ke wajah yang selalu kurindukan itu.
            “Raih cita-citamu, tataplah itu!”
            “Tapi, kak?”
            “Kakak tahu ....kamu sedang ada beban di pikiranmu itu. Makanya, kamu jadi malas belajar.”
            “Habis….mau gimana lagi….Dino nggak bisa kosentrasi belajar kalau ada masalah tentang keuangan sekolah.”
            “Itukah yang menjadi beban pikiranmu?”
            “Ya,” jawabku. “Kakak, ibu belum ngasih uang untuk beli buku lks, sppku juga menunggak.” imbuhku bernada lirih.
            “Lho…bukannya sekolah dasar itu gartis? Terbebas dari uang apa pun?”
            “Kata siapa? Buktinya, masih bayar ini-itu.”
Tangan kak Virna kembali membelai rambutku.
            “Ya, sudahlah. kamu ndak usah memikirkan hal itu. Biar bapak dan ibu saja yang menanganinya. Kamu tetap belajar.”
            “Tapi, kak?”
            “Coba kamu bayangkan! Jika kamu rajin belajar, lalu kamu itu menjadi peringkat pertama di kelas. Kemudian jaddilah kamu orang yang pintar? Enak, kan? Nah, dari rajin belajarmu itu, pasti akan mendatangkan rejeki, yaitu beasiswa. Bisakah membayangkan seperti itu?” bijak kak Virna panjang lebar,      “Beasiswa bisa meringankan beban bapak dan ibu bahkan meraka merasa bahagia mempunyai anak seperti itu.” Lanjutnya.
            “Benarkah?”
            “Betul itu. Jadi rajin belajar, ya! Ingat, jangan mengharapkan sesuatu. Karena beasiswa itu datang dengan sendirinya. Ok.”
Tiba-tiba aku merasa bersemangat di buatnya.
            Ok!” seruku terperanjat bangun, “Kak, aku pulang dulu, ya…mau belajar!”
            “Hati-hati. Ingat, doakan bapak dn ibu supaya mereka tetap mendapatkan rejeki untuk membiayai sekolahmu, ya!”
            “Siip…”
Sebelum sesaat aku melangkahkan kaki, ada yang ingin kuucapkan pada kak Virna terlebih dahulu.
            “Kak Virna, terima kasih. Mau pulang bersama?”
            “Matahari belum terbenam, Dino?”
            Ok, Dino duluan ya, kak!” sahutku melengos.
            “Senyum, dong?”
Gegas aku berbalik badan, kemudian secepat kilat kuberikan saja senyuman yang mengembang untuk kak Virna. Lantas aku pun beranjak. Berlalulah aku darinya.
*
            Sesampainya di rumah, terlihat ayah dan ibuku sedang menggelar tikar di ruang tamu.
            “Asalamualaikum…” sahutku menghampiri sambil menyalami mereka.
Mereka pun reflek menyambut salamku, “Walaikumsalam…”
            “Habis kemana saja kamu, Dino? Pulang sekolah bukannya langsung ke rumah, malah main.” Kata ibu.
            “Bapak sama ibu mengkhwatirkanmu,” sambung ayah.
Aku menundukkan kepala, menghormati mereka saat berbicara.
            “Ya, sudah.… sekarang kamu cepat sana mandi! Nanti bantu bapak dan ibu di sini.” Ibu menyergah dengan pelan.
            “Ibu, tunggu dulu.” Potong ayah. “Lebih baik, kita membiarkan si Dino untuk belajar telebih dahulu seusai mandi nanti.” Lanjutnya.
            “Ya, sudah terserah bapak saja.” Timpal ibu. Lalu beliau menatapku sambil berkata, “Dino, cepat mandi, lalu belajar. Kalau sempat ada waktu bantu-bantu bapak sama ibu di sini, ya?”
            “Baik, bu. Dino pasti selesai belajarnya saat menjelang adzan magrib tiba.”
            “Cepat sekali. Ini saja sudah memasuki ashar. Dino, jangan terburu-buru kalau sedang belajar.” Tukas ayah.
            “Nggak kok, Pak? Cuma, Dino kepengen cepat-cepat membantu bapak sama ibu di sini. Kan habis magrib ada acara tahlilan di rumah ini?”
Tampak ayah dan ibu terkesiap mendengar ucapanku barusan.
            “Kami kira, kamu lupa, nak?” kompak mereka.
            “Nggak dong, pak, bu? Masa acara tahlil istimewa, lupa? Ini kan hari ke seratus sepeninggal kak Virna.” Sahutku seraya beranjak menuju kamar mandi.
            “Kamu pasti rindu, ya?!” seru Ayah tersiur-siur hingga ke telingaku.
Rindu…, tentu saja. Malahan setiap hari. Dan mereka tak pernah tahu bahwa sebenarnya aku selalu bertemu dengan kak Virna di ujung dermaga. Tatkala pula memberikan nasihat berharga jika aku sedang di landa masalah.
***
 Karya : Yan Yuliani
di muat pada tanggal 5 juni 2010, Kabar Cirebon.