DI RUANG SEPI
Di Ruang Sepi
Seusai shalat Isya hingga hampir menjelang shubuh, Pak Anggoro seorang
laki-laki berkepala empat masih membelalakkan mata ke layar laptop di ruang
kerja pribadinya. Kalau sudah berkaitan dengan lembur yang mengharuskan
bergulat di ruang kerja pribadinya, maka ia pastinya enggan untuk beranjak dari
tempat. Bagaimana mungkin ia masih merasakan kebetahan dalam suasana ruangan
yang nampak tidak seperti tahun-tahun sebelumnya? Padahal jauh di lubuk
hatinya, ia merasakan kesepian yang terdalam bila memasuki jam lembur di ruang
kerja pribadinya itu.
Mungkin saat ini ia merasakan kenikmatan mengerjakan tugas, tugas
sebagaimana mestinya yang harus ia selesaikan sekaligus menjadi tanggung jawab
atas kariermnya sebagai Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Cirebon, sampai tidak
merasakan kesepian.
Telah lama jari jemarinya menari di atas keyboard hingga tak terasa
jemari tangan kanannya spontan meraih sesuatu di samping kanan laptop.
Tersadarlah ia!
Tak ada apapun di beberapa senti dari samping kanan laptopnya itu,
kecuali mendadak ada rasa kebekuan yang membuat seluruh tubuhnya kaku. Termasuk
tangan kanannya yang semula ingin mengambil sesuatu, kini menjadi diam, tak
bergerak. Suasana ruangan hening. Seketika rasa kesepian pun ikut hadir dan
menyelinap cepat jauh ke dalam sanubarinya. Tentu saja, kenikmatan mengerjakan
tugas hilang secara tiba-tiba. Ia menghela napas. Perlahan tangan kanannya coba
meraba-raba meja agar kebekuan terpecahkan. Namun, tetap saja ia memaku
kembali, malahan rasa sepi di hati tambah meradang.
Ia tertegun.
Ia merasa wajar pada keadaan yang kini tengah ia rasakan. Rasa sepi dan
rindu tercampur menjadi satu.
Aku sangat merindukanmu, sayangku. Gumamnya dalam hati.
Sudah satu tahun lebih tiga Bulan, ia tidak ditemani oleh sang istri.
Terbayang seperti apa rasa sepi dan rindu selalu merajalela ke hatinya. Sungguh
menyiksa bathin. Apalagi ruang kerja pribadinya itu menyimpan kenangan manis
tersendiri.
Di ruangan itulah, lebih dari cukup dari tanda kesetian serta pengabdian
sang istri padanya benar-benar tak pernah terlupakan, sebelum sang istri
meninggal. Semasa hidup sang istri, ia selalu ada untuknya, menemani pak Anggoro
lembur, setia selalu di sampingnya. Sang istri pula lah selalu setia menjamukan
wedang jahe hangat dan meletakkannya di samping kanan laptop Pak Anggoro.
Wedang jahe buatan istrinya itu tiada duanya di dunia ini, terlebih lagi bila
dicampur madu. Sangat menghangatkan tubuh. Dari jamuan wedang jahe, kadang
terbesit ingin bersikap manja pada sang istri. Misalnya saja, ia bersikap
spontan meraih cepat gelas cangkir ke dalam mulutnya, lalu ia berpura-pura
terkejut merasakan kepanasan.
“Hati-hati dong, Kanda? Wedang jahenya kan, masih panas?” tukas sang
istri sigap melap mulut Pak Anggoro dengan sapu tangan yang telah disediakan di
samping gelas cangkir itu dengan lembut. Jelas-jelas tak ada ceceran air wedang
jahe di mulut Pak Anggoro, malah ia nampaknya ingin memanjakan sang suami.
“Maaf, Dinda? Kanda kira wedang jahenya sudah hangat,” sahut Pak Anggoro,
sikap manjanya berhasil menarik perhatian sang istri.
Panggilan Kanda-Dinda melekat pada diri mereka, diucapnya pun saat tidak
di depan anak-anak.
“Ya, sudah…lain kali hati-hati. Tiup dulu sebelum menyeruput ya, Kanda.”
“Ya.”
Tidak hanya sikap manja pada saat di jamui wedang jahe saja, tapi saat
situasi lain juga. Sebagai contoh, jika ia ingin menggodai sang istri, biasanya
ia berpura-pura mengalami rasa pegal di daerah pundak, lantas jari jemarinya
memijat-mijat bahu sendiri. Cari perhatian, begitu.
“Kenapa, Kanda? Pegal-pegal, ya?” tanya sang istri suatu ketika, “Sini
biar Dinda saja yang pijit.”
“Boleh, yang enak, ya!” sahut Pak Anggoro sambil menarik napas lega
karena berhasil. Baginya, bersama sang istri adalah anugerah tak ternilai. Termasuk
kedekatannya seperti itu.
Sebenarnya Pak Anggoro tak tega kepada sang istri yang selalu menemaninya
lembur di ruang kerja. Biarlah sang istri tidur saja di kamar. Namun, sang
istri bersikukuh ingin ikut menemaninya. Katanya, sebagai kerja sampingan dalam
berumah tangga. Yah, ia tak habis pikir mengapa istrinya mengatakan itu sebuah
kerja sampingan. Apa mau dikata, Pak Anggoro tak punya pilihan lain, selain
menyiakan permintaan sang istri itu. Toh, mengerjakan tugas hingga lembur
begitu, Pak Anggoro menjadi bersemangat, tak mengeluh sedikitpun. Karena di
temani sang istri, pastinya.
Ruang kerja pribadi Pak Anggoro adalah saksi bisu tentang istrinya. Ya
itu dia tadi, kesetiaan dan pengabdiannya pada sang suami yang luar biasa.
Pak Anggoro tak pernah habis untuk berucap syukur pada Ilahi sudah
dikaruniai seorang istri yang begitu mengerti atas tugas-tugas Pak anggoro yang
sering kali diharuskan lembur. Dan ia berani menemani.
Biasanya, setelah menjamukan Pak Anggoro wedang jahe, sang istri menemani
kedua purtinya nonton tv dahulu atau ia sampai menidurkan kedua putrinya yang
sedang beranjak dewasa itu ke kamar mereka masing-masing sebelum kembali ke
ruang kerja sang suami. Jika sudah kedua purtinya tertidur, barulah ia kembali
menemui Pak Anggoro di ruang kerja pribadi. Ia lantas mengambil kursi kemudian
menggeretnya ke samping kursi Pak Anggoro. Nah, selanjutnya yang dilakukan sang
istri yaitu membaca buku. Namun, tak dipungkiri ia pun kadang menulis sebuah
puisi apabila Pak Anggoro sedang menyelesaikan sebuah artikel untuk beberpa surat
kabar, baik surat kabar lokal maupun Nasional. Maklum saja, ia selain seorang
Dosen, ia pula merangkap pekerjaan menjadi freelancer.
Sang istri hanya menemani pak Anggoro dengan cara duduk di samping kursinya.
Atau, biasanya sang istri duduk di sofa, kadang ia tertidur di situ.
Kerap Pak anggoro menangkap pemandangan sedap dilihat. Bahkan, sampai
bercak kekaguman apa yang dilakukan oleh sang istri. Di pojok ruang kerja, tiap
kali sang istri berada di ruangan itu, tiap kali ia sedang menemani Pak Anggoro
lembur. Ia tak pernah lupa untuk melaksanakan shalat sunnah. Pemandangan sedap
dilihat, bukan? Sayang, Pak anggoro tak menjadi imam di kala sang istri sedang
shalat sunnah pada malam hari itu. Hanya memikirkan tugas-tugasnya saja. Akan
tetapi, ia tetap mengimami sang istri dalam melakukan shalat sunnah apabila ia
tak lembur. Terutama, shalat wajib, saat lembur atau tidak ia akan tetap
mengimaminya dan dua buah hatinya.
Kehidupan Pak Anggoro nyaris sempurna dalam mengatur keluarga. Istri yang
setia dan soleha. Serta dua putrinya yang penurut. Ya, meskipun sebenarnya
kesempurnaan hanya ada pada Allah.
Namun, ia rasa kesempurnaan dalam berkeluarga sepertinya setengah telah hilang
dengan kepergian sang istri. Rasanya begitu perih bila harus ditinggalkannya.
Bagi Pak Anggoro, rasa-rasanya ia lah yang merusak kesempurnaan itu. Pasalnya,
ketika ia tak ditemani sang istri pada saat lembur. Ia justru tak mengerti akan
kondisi sang istri yang jelas-jelas tak bisa menemaninya.
Karena terbiasa ditemani pada waktu lembur, karena tak pernah satu pun ia
lembur tanpa ditemani sang istri, ia akan uring-uringan kerja lembur, bahkan
tak bisa lembur tanpa kehadiran sang istri. Dan pada suatu hari, malam yang
sunyi dengan disertai hujan lebat di luar sana. Sang istri belum kunjung pulang
dari rumah orang tuanya (Mertua Pak Anggoro). Kebetulan Pak Anggoro malam itu
banyak tugas, bisa jadi lembur. Karena ia tak pernah lembur tanpa sang istri, lantas
ia menelpon istrinya dan memintanya agar cepat segera pulang ke rumah. Tapi,
sang istri menolak, sebab hujan masih lebat-lebatnya. Malahan, ia meminta pada
Pak Anggoro agar diperbolehkan bermalam di rumah orang tuanya bersama kedua
putrinya. Pak Anggoro tetap bersikukuh meminta istrinya untuk pulang.
“Kan, kalian membawa mobil? Tidak akan kehujanan, bukan?” tandas Pak
Anggoro melalui telpon.
Dan tak lama, Pak Anggoro menarik napas lega mendengar pengakuan sang istri
bahwa ia dan kedua putrinya akan pulang malam itu juga.
Sambil menunggu, Pak Anggoro tetap berada di ruang kerja pribadinya.
Tidak bisa kosentrasi saat mengerjakan tugas-tugas. Apa lantaran tak ada istri
di samping? Yah, ia yakin itu alasannya.
Tiga puluh menit berlalu, tiba-tiba telpon di ruang kerjanya berdering.
Segera ia angkat!
“Assalamualaikum...”
Begitu salam itu terucap dan telah dijawab oleh sang penelpon, ia terdiam
sejenak. Secara Maha dashyat ia merasakan seperti ada petir yang menyambar
dirinya! Ia terhenyak mendengar pernyataan dari penelpon yang menyatakan bahwa
Nyonya Santika mengalami kecelakaan. Istri Pak Anggoro.
“Tidak mungkin!!” sentaknya, tak terasa air mata sudah mengalir deras di
pipi.
“Benar, Pak! Istri bapak kecelakaan. Mobil yang dikendarai istri bapak
bertabrakan dengan bus saat melintas di jalan Brigjen Darsono. Istri beserta
dua putri bapak sekarang berada di Rumah Sakit Pertamina Cirebon.”
“Bagaimana keadaan mereka?”
“Kedua putri bapak baik-baik saja, kemungkinan kondisi mereka baik
dikarenakan mereka duduk di jok belakang mobil.”
“Lalu istri saya?!!”
“Lebih baik bapak kemari saja secepatnya. Terima kasih.”
Bergegaslah Pak Anggoro meninggalkan ruangan setelah menutup telpon yang
ia yakin itu dari pihak rumah sakit.
Dengan terburu-buru dan pakaian seadanya saja yang nampak ada sedikit
tetesan air hujan, ia melangkah terus di lorong Rumah Sakit Pertamina Cirebon.
Tiba-tiba ia disergap rasa takut, takut kehilangan mereka. Sesampainya disuatu
lorong, ia mendapati kedua putrinya sedang menangis saling berpelukan sambil
duduk di sebuah bangku. Langkahnya menjadi pelan, sakit melihat pemandangan
itu. Air matapun mengiringi langkahnya. Sedetik kemudian, ia terlonjak!
“Ada apa ini?!” seru Pak Anggoro pada dirinya sendiri. “Dimana istriku?!!
Lalu kenapa mereka berada di dekat ruangan jenazah? Apa yang terjadi? Apa ada
kaitannnya ruangan jenazah dengan istriku?!” lanjutnya berteriak dalam hati.
Lekas ia percepat langkah.
Setelah di hadapan kedua putrinya, Pak Anggoro dipeluk mereka dan mereka
serentak berkata, “Pa, Mama telah tiada…!!!”
Tubuhnya seakan hancur berkeping-keping. Seketika tangis Pak Anggoro
meledak! Ia merasa ini semua kesalahannya. jika ia tidak meminta istrinya
pulang. Tidak akan ada kejadian seperti itu! Ia sangat menyesal. Penyesalan
yang tidak dimaafkan oleh dirinya sendiri.
*
Pak Anggoro tersadar! Otaknya sudah menerawang jauh ke
belakang. Air mata pun telah membasahi pipi. Cepat-cepat mengangkat sedikit
kacamata titaniumnya itu, lalu mengusapkan air mata dengan tissue. Kemudian ia
kembali membelalakkan mata ke layar laptop. Ada rasa penyesalan di dalam
hatinya yang akan terus ia pendam.
Tak lama, ia kembali serius pada pekerjaannya. Tanpa sengaja, tangan
kanannya spontan lagi meraih ke samping kanan laptop.
Kali ini ia terkesiap! Ada sebuah gelas cangkir di situ. Gegas ia
mendelik, lantas membuka penutup cangkir tersebut. Wedang jahe. Dalam hatinya
terbesit pertanyaan, ‘siapakah yang membuat wedang jahe ini?”
Perlahan ia tengokan ke belakang. Terlihat putri sulungnya berdiri di
belakang kursinya.
“Kakak yang membuatkannya untuk Papa. Diminum ya, Pa. nanti kalau sudah
diminum, kita ke ruang shalat untuk shalat shubuh, sebentar lagi adzan,
sementara si adik sedang mengambil air wudhu. Oya, pa,” sahut putri sulung, ia
terdiam sejenak, lalu ia melanjutkan, “Kakak kangen sama Mama, Pa. Si adik juga
katanya kangen. Hari ini kita jiarah ke makam Mama ya, Pa.”
Pak Anggoro tersenyum, “Baiklah, kita akan jiarah hari ini. Dan selepas
shalat shubuh jangan beranjak ke mana-mana dulu, ya! Kita akan mendoakan Mama.”
“Ok, deh! Oya, Pa! Mudah-mudahan wedang jahe yang kakak buat sama enaknya
dengan buatan Mama.”
“Sama persis, kok! Terima kasih, ya!”
***
Cerpen ini
dimuat pada tanggal 28 Januari 2012 di KABAR CIREBON