Bingkai Senyum
Namaku
Lita, aku adalah cewek yang selalu dihiasi senyum. Senyum membuat wajahku yang terlihat
biasa-biasa manjadi tampak cantik, serta senyum bisa menutupi gegundahan hati,
emosi, dan rasa suntukku, bahkan rasa sakit hati.
Ada sesuatu hal yang
membawaku tersenyum seceria ini, namun …. Hugh! Aku lupa apa yang menjadi
alasannya, karena itu semua, berlangsung amat sangat lama sekali.
*
Reno, temanku. Lebih tepatnya, sahabat.
Ia adalah cowok bertampang blesteran Indonesia-Jerman. Keluarga Ibu Reno
berasal dari Jerman, sedangkan Ayah Reno berasal dari Indenesia tulen. Wajar,
mempunyai keluarga yang berbeda negara menghasilkan anak blesteran. Dan tampang
Reno yang blesteran itu sangat dipujai para cewek. Hanya saja, ada satu
kekurangan yang terdapat di dalam diri Reno,
membuat para cewek menjadi enggan memuja atau bahkan mengaguminya. Satu
kekurangannya itu adalah senyum. Ia pelit senyum, malahan aku tak pernah
melihatnya tersenyum. Paling-paling memulumkan senyum atau lebih parahnya lagi
tersenyum tipis. Bagiku, itu sama saja bukan tersenyum, bukan tersenyum. Dan
aku tidak habis pikir, mengapa Reno tidak ingin tersenyum padahal kedua orang
tuanya sangat ramah, seharusnya Reno diwarisi sifat seperti mereka itu, bukan?
Entah!
Apa yang menjadi daya tariknya hingga aku menjalin persahabatan dengannya
hingga detik ini, dan aku pun merasa aneh mengapa ia mau bersahabat denganku dari
SMP hingga kami
duduk bersama di kelas XII.
Pernah
aku menanyakan pada Reno
tentang apa yang menjadi alasannya bersahabatan denganku. Lagi-lagi aku dengar
jawaban darinya hanya satu, yaitu karena akulah yang selalu mengutarakan isi
hatinya kepada orang lain melalui diriku, begitu. Mungkin tutur kataku yang
sopan dan dihiasi senyum kali, ya? Entahlah! Yang jelas, aku seperti juru
bicaranya saja.
Meskipun
Reno pelit akan senyum, tapi aku merasa nyaman. Sebab, ia selalu ada untukku,
terlebih lagi perhatiannya yang begitu amat besar terhadapku, mengagumkan. Jika
saja banyak orang yang tahu bahwa ia baik, mungkin para cewek-cewek tak perlu
menjauh hanya gara-gara ia tak pernah tersenyum.
*
Hari
Minggu Reno mengajakku ke restoran yang ada di salah satu mall terbesar di
Jakarta. Aku sangat senang ia menaktirku setelah kemarin-kemarin aku sempat ditaktir
olehnya juga, dengan alasan sebagai ucapan terima kasih karena aku telah
mengutarakan isi hatinya kepada teman-teman di kelas. Namun, kali ini apa
alasannya ia menaktirku? Aku tidak tahu, ucapan terima kasih seperti
kemarin-kemarin kah? Itu tidak mungkin!
“Sekarang
apa alasanmu menaktirku?” tanyaku sambil menyeruput kuah sup, lalu aku
menatapnya dengan tersenyum, sambil melanjutkan, “Ucapan terima kasih??”
“Bukan.”
“Lantas??”
“Aku
ingin seperti….sifat cowok pada
umumnya.” jawabnya yang sama sekali tidak kumengerti.
Suasana
hening seketika di antara kami.
Sedetik
kemudian barulah ia berucap, “Mengutarakan isi hatiku padamu.”
Aku
menatapnya lekat-lekat, jidatku pun ikut berkerut.
“Aku
menyukaimu, Lita. Aku sangat mencintaimu.”
Tersentak
aku mendengarnya. Ya ampun! Ia berani mengatakan hal itu padaku? Bagaimana ini?
Aku hanya menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih.
“Kamu
ini ngomong apa, sih??” Aku mencoba mengucapkan sesuatu dengan tersenyum.
“Aku
serius,” tandas Reno
dengan nada bicara lebih menekan dari sebelumnya.
“Kita
kan,
sahabatan?!”
“Ya,
aku tahu. Tapi aku merasa aneh dengan persahabatan kita ini!”
Aku
mencoba terus tersenyum, “Tidak ada yang aneh.”
“Entah!
Mungkin aku saja yang mempunyai perasaan itu. Ehm….apakah kamu bersedia menjadi
pacarku?”
Ya
ampun! Apa yang harus aku katakan, ini masalah perasaan. Perasaanku mengatakan
‘tidak’. Namun tidak dengan bibirku yang dihiasi senyum, aku menjawab, “Ya.”
Seketika
Reno malah memulumkan senyum, sangat tipis sekali senyumannya itu, mungkin
orang melihat, ia sama sekali tidak tersenyum.
“Lagi-lagi
tesenyum! Kamu selalu saja begitu. Mau sampai kapan?” tanyanya, “Senyum bukan
berarti menutupi perasaan kita sendiri. Boleh kamu tersenyum sekalipun bilang
tidak. Senyummu tadi tidak sesuai dengan hatimu, bukan?”
Entah
kenapa aku merasa ia telah mengujiku tadi dengan berdalih ia menyukaiku. Apa
mungkin begitu? Kalau seandainya benar teganya ia seperti itu padaku.
“Lita,
aku benci jika kamu mengobral senyum. Kamu boleh tersenyum kepada siapa pun,
tapi berilah senyum terindahmu kepada orang yang kamu sayangi saja.”
“Kamu
sendiri? Mana senyummu untuk orang yang kamu sayangi? Katanya kamu menyukaiku, berarti itu
sayang, bukan? Mana senyummu untukku?”
“Ada alasan tertentu yang membuatku enggan tersenyum,” sahut Reno datar.
Lalu kami
terdiam sejenak begitu kami mendapati sesosok gadis kecil yang tengah melintas di meja kami. Tiba-tiba secara
mengejutkan boneka yang dipeluknya terjatuh ke lantai. Cepat-cepat aku
menolongnya. Dan saat kuberikan boneka pada gadis kecil itu, senyumku pun tak
luput untuk dituangkan, nampak ia membalas senyumku dengan antusias. Setelah
itu, aku kembali duduk.
“Beruntung
sekali kamu itu, menolong sambil menuangkan senyum, dan di respon sangat baik.”
tandas Reno. Ia
terdiam sejenak, ada sesuatu pancaran kebencian di matanya, entah apa! Aku
tidak tahu. Sedetik kemudian, lalu ia melanjutkan, “Dulu, aku memang di kenal
ramah, dan periang. Namun, saat pertama kali aku menginjakkan kakiku ke Indonesia yang
masih berumur empat tahun, aku menjadi pemurung dan enggan tersenyum, sesaat
setelah bertemu dengan
seorang gadis kecil di bandara soekarno-hatta. Kejadiannya sama seperti tadi,
boneka yang dipegangnya jatuh ke lantai, aku pun menolongnya dengan dihiasi
senyum yang mengembang, karena aku tahu orang Indonesia dikenal ramah, jadi aku
melakukan hal itu. Sayang, ia tidak membalas senyumku! Jutek sekali
dia itu! Sial! Justru
aku digubrisnya! Lalu setelah itu, ia pergi entah kemana.”
“Itukah
alasanmu untuk tidak tersenyum lagi? Karena sakit hati?”
“Ya.”
Jawab Reno.
Aku tergugu dan simpati padanya.
Hanya gara-gara tidak dibalas senyum oleh gadis kecil itu, ia menjadi seperti
ini? Malas untuk tersenyum? Sungguh kasihan.
“Lita.”
“Ya.” Aku mendelik.
“Yang
tadi, apa jawaban mu?” lanjutnya mengalih pembicaraan.
“Hah???”
cengangku. Berarti tadi ia tidak mengujiku! Itu benar-benar perasaannya? Lantas
apa yang harus kujawab?? Hug... Biarlah sekarang aku bicara tanpa senyum, “Tidak sekarang, Reno. Aku butuh waktu
untuk menjawabnya.”
Reno mengangguk setuju,
“Terserah.”
*
Keesokan
hari, aku jatuh sakit karena masuk angin saja, tapi perhatian Reno tak pernah pudar, ia selalu menjungukku jika aku sakit, meskipun sakit
ringan seperti ini.
“Kita
ke pekarangan bunga, yuk?” sahutku lekas beranjak dari tempat tidur.
Ruang
demi ruang kami telusuri bersama demi menuju ke pakarangan bunga yang ada di
belakang rumahku. Tiba di ruang makan, kami mendapatkan ibuku di sana. Beliau sedang
memerlukan bantuan dari seseorang, Renolah yang akan membantunya untuk
membawakan beberapa vas bunga ke ruangan lain sesuai pengharapan ibuku.
Terpaksa aku menuju ke pekarangan bunga duluan.
Tak
lama berselang, Reno
datang menghampiriku dengan membawa boneka panda di tangannya.
“Lho,
itu kan,
boneka panda buatan ibuku? Aku taruh di lemari, kenapa sekarang berada di tanganmu?” tanyaku
mendelik padanya sembari menyiram bunga yang sedari tadi kulakukan.
Tepat
di sampingku, ia memberhentikan langkahnya sambil berkata, “Karena boneka ini
mengingatkan aku pada kejadian beberapa tahun silam yang lalu di bandara soekarno-hatta. Kamu
masih ingat cerita itu?”
Aku
mengangguk cepat, dan kuberhentikan saja aktivitas menyiram bunga sejenak. Kujatuhkan saja selang air di sembarang
tempat.
“Aku
jamin mataku tidak salah lihat, boneka inilah yang aku ambil ketika seorang
gadis kecil menjatuhkannya ke lantai.” Sahut Reno panjang lebar, ia terdiam
sejenak, lalu ia menambahkan, “Gadis kecil itu adalah kamu, Lita.”
Sangat
menghenyakkan, gadis kecil yang ia ceritakan padaku kemarin adalah aku? Tidak
mungkin!
Seketika
otak memoriku menyergap lantas menelusuri jauh entah kemana, hingga terbentuk
sebuah rangkaian ingatan. Disitulah aku melihat diriku sendiri yang sedang
berdiri diantara orang-orang berseliweran. Masih terasa boneka yang kupeluk.
Boneka panda. Ya, kini aku ingat sedang apa aku saat itu? Menunggu kedatangan
Ayah di bandara Soekarno-Hatta. Beberapa tahun yang lalu memang aku pernah
menunggu Ayah di bandara ketika aku masih bocah.
Sudah
sekian menit, aku terlepas dari genggaman Ibu. Dan tidak kuperdulikan, tetap
berdiri memaku. Tetapi tak disangka, semakin lama menunggu, rasa kesalku timbul
dengan cepat. Aku geram lalu kulangkahkan saja kakiku untuk pergi meninggalkan
tempat. Kemudian tak cukup disitu, aku pun membantingkan boneka panda ke
lantai. Biar saja! Aku kesal menunggu Ayah!
Setelah kubantingkan boneka, ada yang menahan langkahku
dari samping kanan. Spontan langkahku terhenti, kepalaku pun ikut berhenti
menatap ke depan, aku menunduk terpekur. Kulirikkan sejenak ke samping kanan,
nampak sepatu cowok dan dua pasang sepatu lainnya, mungkin mereka orang tua dan
anak.
Sedetik kemudian, aku bisa melihat
sebuah uluran tangan yang menyodorkan boneka panda ke arahku. Lantas aku
mendongak perlahan. Tertatap wajah seorang cowok dengan senyuman mengembang.
Ya, itu Reno yang belum aku kenal. Karena hatiku kesal pada Ayah kuluapkn saja
kekesalan itu pada Reno, aku mengubrisnya! Dan menarik paksa boneka panda dari
tangannya, serta kutinggalkan saja dia. Namun, baru beberapa meter kulangkahkan
kaki, kutolehkan sesaat ke belakang, nampak ia masih terpaku, belum beranjak
sedikitpun. Aku merasa jadi tak enak hati padanya.
***
“Sepertinya
kamu ingat sesuatu, Lita?” tanya Reno
membuyarkan lamunanku.
“Tentu.
Sungguh benar-benar tidak di sangka, ya? Akulah yang membuatmu berhenti tersenyum.”
Jawabku lirih, dan lekas menunduk, sambil bertanya, “Apa yang harus aku lakukan
untuk membalas kesalahanku dulu agar kamu bisa tersenyum kembali?”
Ia
menarik daguku, “Gampang saja. Cukup dengan mempraktikan kembali adegan sewaktu
di bandara dulu.”
Apa??
Terlalu kekanak-kanakan permitaannya. Hugh, tapi kupikir… tak apalah ini
kesempatanku melihat senyumnya. Seperti apa dia nanti, paling-paling memulumkan
senyum?
Aku
sudah berdiri tegak berada jauh di depan Reno,
tak luput boneka panda ada digenggaman tanganku. Satu anggukan darinya,
bertanda sudah dimulai. Aku pun mengikuti perintahnya, berjalan menunduk
seperti yang pernah kulakukan dulu. Aku terus berjalan perlahan, dan entah
kenapa rasa kesal menunggu Ayah beberapa tahun silam itu, bisa kurasakan
kembali. Secara tanpa sadar, tanganku sudah terayun yang kemudian berniat ingin
menjatuhkan boneka panda. Namun, hendak kujatuhkan boneka panda, kakiku
terlebih dahulu tersangkut selang air! GABRUK! Ya ampun, aku terjatuh! Sial aku
jatuh bersamaan dengan jatuhnya boneka panda dan lututku sakit sekali. Ini
bukan adegan yang tidak diharapkan!
“Are
you ok??” tanya Reno bersuara lembut yang tak biasanya. Aku heran, sejak
kapan ia sudah berada di samping kananku?
Karena aku masih merasakan sakit di
daerah lutut yang kutahan, maka jawabku hanya satu anggukkan yang berarti aku
baik-baik saja.
Bukan hanya pertanyaan, ternyata
Reno pun menyodorkan boneka panda ke arahku. Aku baru menyadarinya, cepat-cepat
aku mendongak. Dan....dan apa yang kulihat??? Senyuman. Reno menuangkan
senyuman yang mengembang. Sungguh indah senyumannya.
Itukah
senyumanmu, Reno? Bathinku.
Aku masih terperangah dibuatnya, jantungku pun ikut
bergetar. Kenapa, ya?
“Makasih,” ucapku terlontar begitu saja sembari mengambil
boneka panda dari tangan Reno.
*
Setelah melakukan adegan yang telah
diperintahkan oleh Reno. Kami berdua tengah berdiri saling beriringan sejak
beberapa menit yang lalu. Sekian menit itulah, jantungku tak henti-hentinya
berdegup kencang. Kututupi saja rasa itu dengan memainkan boneka panda di
tangan.
“Hebat! Aktingmu luar biasa! Apalagi
ditambah sentuhan jatuh.”
“Tadi itu aku tidak sedang
berakting! Aku jatuh sungguhan! Gara-gara menaruh selang air yang tidak benar,
jadi tersandung gitu deh..!”
“Tapi dipikir-pikir, dengan kamu
terjatuh, suasananya jadi lebih seru, bukan?” goda Reno, lalu ia melanjutkan,
“Terima kasih, ya!”
“Ya,” jawabku singkat.
Sekarang aku ingat mengapa aku
selalu mengumbar senyum. Ada hubungannya dengan beberapa tahun silam itu. Ya,
aku ingat alasannya. Begini, seusai Reno menolongku yang kuacuhkan dan berhasil
menemukan Ibu. Ayah pun akhirnya tiba di bandara. Sontak aku menyambut beliau
dengan sumringah. Tentu, Ayah terkejut melihat raut wajahku. Sebab aku dikenal
sangat jutek.
“Anak Ayah senang sekali,” ujar Ayah menangkap
dan menggendongku kala itu.“Siapa yang merubahmu seperti ini, nak?” Ayah
menanyakan.
Pasti wajahku memerah di mata Ayah.
“Ayah, Lita ingin menjadi orang yang
selalu tersenyum. Bagaimana caranya?” ucapku benar-benar polos dengan disertai
senyuman. Kulihat Ayah belum mempercayai ini semua.
“Gampang saja, nak! Ayah dan Ibu
akan mengajarkan cara tersenyum yang baik dan sopan santun setelah tiba di
rumah nanti.”
“Janji, ya! Soalnya Lita mau
membalas senyum seseorang. Begitu, Ayah.”
Andai Reno tahu bahwa aku sebenarnya
melakukan ini, hanya ingin membalas senyumannya yang dulu pernah kuacuhkan,
walaupun di benakku...tak mungkin aku bisa bertemu dia lagi. Tindakanku ini
memang terkesan konyol. Tapi ini sebagai wujud rasa penyesalanku telah
mengacuhkannya.
Dan tanpa sadar ia ada di dekatku,
sudah kubalaskan pula senyumnya, Reno pun kini bisa tersenyum kembali. Senyuman
Reno itu membuatku ada rasa, bukan rasa
persahabatan. Melainkan, perasaan....apa ya? Ehmmm....
Aku
menerimamu menjadi kekasihku, Reno, Bathinku.
***
DIMUAT PADA
TANGGAL 09
JULI 2011 DI KABAR
CIREBON