ACNE
Hampir
satu jam Careline mematut diri di cermin hanya untuk memandang dirinya sendiri.
Ada sesuatu yang harus ia banggakan
begitu melihat penampilan fisiknya, dari mulai bentuk betis yang indah, bentuk
pinggang yang menarik, kulitnya kuning langsat, rambutnya pun panjang tergerai
mempesona, dan tubuhnya pula tinggi semampai. Sungguh sempurna. Namun begitu
melihat ke raut wajahnya, alamak…. Ia langsung meringis. Rasa bangga karena
merasa sempurna kini sirna saat memandang wajahnya itu, wajah yang di penuhi
jerawat. Ia tidak habis pikir kenapa wajahnya dipenuhi oleh bintik-bintik
menonjol di atas kulit cerahnya itu, padahal menurutnya …ini tidak masuk akal.
Masa jerawat tumbuh di kulit yang bersih? Pikir Careline.
Inilah satu kepahitan yang harus ia
terima. Sejenak ia condongkan wajahnya ke cermin, melihat lebih seksama. Dan ia
baru menyadari bahwa tidak hanya jerawat tetapi juga ada sedikit noda hitam.
“Huugh!” Careline
menumpahkan kelesuannya dalam sekali hembusan napas.
“Careline…!!”
suara sang Mama membahana di penjuru ruangan.
“Iya, Ma! Careline
ada di kamar! Tunggu sebentar, Ma!” seru Careline tiba-tiba mendadak
terburu-buru merapihkan seragam putih abu-abu yang di kenakannya, dan ia
bergegas mengambil tas oversize
coklat, lalu meninggalkan ruangan kamar.
Di
ruangan makan, ia duduk di antara kedua orang tuanya untuk menyantap hidangan
sarapan pagi ini. Belum ia menyantapnya, ia sudah merasa mual melihat semua
hidangan di meja. Tampak ia tak berselera, hidangan itu lagi…itu lagi, sayur
asem yang di campur dengan beberapa kacang di dalamnya, ada ayam goring pula,
lalu minumnya susu. Tak ada perubahan, banyak terkandung lemak, tentu saja..
Bagaimana bisa menghilangkan jerawat kalau begini caranya, pikirnya.
Tak
lama berselang, Careline sudah berada di ruang kelas sepuluh menit yang lalu.
Ia duduk paling terbelakang di pojokan kanan. Tepat di samping kirinya, ada
teman sebangkunya yang bernama Ikta. Mereka tengah sibuk menghafalkan rumus
matematika, memusatkan diri pada buku mereka masing-masing.
Sedang asyik menghafalkan rumus,
tak sengaja ekor mata Careline menangkap sesuatu di tepak pensil Ikta. Sebuah
pembersih wajah. Melihat demikian, Careline menghembuskan napas berat. Ia
menyadari bahwa dirinya tidak mempunyai pembersih wajah, polesan bedak pun tak
menyertai di wajahnya itu. Perlahan tangannya merogoh tepak pensil miliknya
sendiri. Lalu di ambilkannya sebuah cermin kecil, dan mulailah ia bercermin.
Terlihat jelas wajah penuh jerawat itu, lagi-lagi ia meringis di buatnya. Ia
tersadar akan kelalaian atas tidak sepenuhnya serius dalam membersihkan
wajahnya itu.
Berarti
muka gue belum tergolong bersih. Bathinya.
Seketika ia terheran mengapa ia
sampai berjerawat seperti ini. Apa karena kurang serius membersihkan wajah
seperti kesadarannya tadi? Ataukah memang ini takdirnya harus berjerawat?
Ataukah memang harus memakai kosmetik?
Entahlah! Ia tak tahu. Namun bila menyinggung kosmetik, ia tidak ingin
memakai kosmetik lagi. Untuk saat ini, sebab ia pernah mempunyai kosmetik dan
tidak jarang untuk menggunakannya ke wajah.
Seiring berjalannya waktu, justru
wajahnya semakin tidak karuan, menyebabkan lebih banyak jerawat saja. Mungkin
karena kurang cocok dengan kosmetiknya. Mungkin. Dan sejak saat itu, ia tidak
ingin memakai kosmetik lagi untuk beberapa tahun ke depan. Setelah menemukan
kosmetik yang cocok nanti, barulah ia akan mencoba memakai kosmetik kembali.
Namun ia tidak janji.
Telapak
tangannya yang mulus perlahan-lahan meraba pipinya yang penuh dengan benjolan
kecil berwarna merah dadu. Ingin rasanya, ia menyingkirkan itu semua dalam
sekejap. Jika sudah merasa mengeluh akan hal ini, ia menjadi teringat sesuatu,
sesuatu yang tidak ia sukai yang membuatnya tersinggung, yaitu di perolok
masalah jerawat oleh teman-teman sekelasnya. Karena teman-temannya selalu
memperoloknya ‘si muka kue rempeyek’. Sadis benar …olokannya itu. Ia pun harus
menelan satu kepahitan kembali, habis…mau bagaimana lagi?
Namun entah
datangnya darimana, bagai di sambar petir saja! Ia menjadi bersemangat. Sambil
bercermin yang di lakukannya sedari tadi itu, ia lekas menegakkan tubuhnya
sedikit, lalu ia bergumam, “Lebih baik jerawatan dari pada panuan!”
Ikta yang duduk di
sebelahnya sembari manghafal rumus itu tersentak. Namun ia memakluminya,
pura-pura tidak mendengar saja.
Tidak
lama, suara bel masuk terdengar di telinga. Kini saatnya memasuki ke pelajaran
pertama. Dan di kelas X.2, kelas dimana Careline tempati sedang di adakannya
ulangan matematika di jam pertamanya itu.
Hingga memasuki jam kedua, belum
usai ulangan matematika di kelas X.2 tersebut.
“Dua menit lagi!”
seru Bu Inah selaku guru matematika yang sedari tadi berdiri di depan papan
tulis. Bu Inah, guru yang di takuti oleh semua siswa di salah satu sekolah
menengah atas kota Cirebon.
Karena ketegasan beliaulah membuat mereka kalang kabut jika sedang ulangan
seperti saat ini.
Tak ada yang mengelak satu pun dari
mereka untuk menyontek, termasuk Careline. Menoleh sedikit saja langsung di
pelototin, mereka sadar hal itu. Untuk menyelamatkan diri dari waktu ulangan
matematika yang terlaknat, maka mereka harus pintar-pintar mencari jawaban,
entah dari mana! Syukur-syukur dari otak sendiri.
“Satu menit lagi!”
seru Bu Inah sekali lagi sambil melipatkan kedua tangan di perut.
Suara Bu Inah yang sering kali
membahana di ruang kelas membuat mereka semakin takut, sama halnya yang di
rasakan oleh Careline. Ia tak bisa menyontek. Mengandalkan otaknya, hanya
beberapa soal saja yang bisa ia kerjakan, itu pun belum tentu benar.
“Banyak banget
yang belum gue isi!” sahutnya dalam hati.
Karena terhimpit oleh desakan waktu
tidak mungkin menunggu wangsit, tidak mungkin pula mengandalkan otak, atau
tetekbengek lain sejenisnya, hanya satu yang mungkin ialah jerawat. Jerawatlah
yang harus bertindak. Ia tersadar ada yang dapat di manfaatkannya. Mulailah ia beraksi.
“A-B-C-D-E-A…B”
Careline menghitung jerawat yang ada di kening, lalu seiring berakhirnya
jerawat di kening itu, tentu sebuah penentuan untuk menjawab satu soal, “C,”
lanjut Careline, jari telunjuknya berhenti menari di kening.
Kemudian di tulisannya huruf
tersebut ke nomor 17 yang belum sempat terisi.
“Nomor
berapa lagi, ya? 20, 21, 24, 30.” Ia berdesis. Gegas ia menghitung jerawat di
pipi kiri dan pipi kanan untuk menjawab nomor 20 dan 21. begitu juga dengan
nomor 24, ia pun melancarkan aksinya kembali untuk menghitung jerawat, kali ini
di daerah dagu. Namun, saat pengisian nomor 30 yang menjadi tempat sasarannya
adalah di daerah hidung, di situlah ia mulai kesulitan. Pasalnya, di daerah
hidung tidak ada jerawat melainkan komedo. Mana mungkin bisa di hitung? Maka
dari itu ia akan mencoba mengisinya dengan menggunakan otaknya saja.
Sekian detik, sudah berulang kali
ia coba memakai berbagai rumus, namun tak ada jawabannya. Terpaksa jerawat lagi
yang akan bertindak. Dengan sigapnya ia menghitung semua jerawat yang ada di
wajah.
Anehnya, Bu Inah tak menyadari apa
yang di lakukan oleh Careline. Wajar, karena Careline mnghitung jerawat sangat
hati-hati namun cepat. Alhasil, Bu Inah pun mengira Careline sedang pusing
melihat soal.
“A.”
suara Careline bernada sangat pelan. Lalu ia menuliskannya ke jawaban nomor 30.
dan bersegeralah ia mengumpulkan hasil kerjaannya itu ke meja guru.
Akhirnya ia bisa bernapas lega,
serta membiarkan berbagai kemungkinan terburuk yang bisa terjadi di hasilnya.
Yang jelas, ia telah selesai mengerjakan ulangan hari ini.
Dari
pada menghitung kancing. Bathin Careline.
*
Sepulang
sekolah, Careline tak pernah lupa untuk mengikuti latihan baris berbaris.
Maklum saja, di ekskul paskibranya itu sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan perlombaan
paskibra se-kota Cirebon yang akan
di selenggarakan minggu depan.
Sebenarnya, jauh dari lubuk hati
Careline ingin sekali keluar dari ekskulnya itu. Namun apa daya, sang pembina
Paskibra memberikannya sebuah jabatan sebagai sekretaris, membuat ia harus
bertanggung jawab saja. Dan mau tidak mau, ia mengurungkan niat untuk keluar
dari paskibra.
Di minggu-minggu ini, ia sangat di
sibukan dengan latihan baris berbaris yang membosankan. Maklum saja, satu
minggu menjelang pelombaan paskibra, ia dan teman-temannya harus berekstra
keras latihan. Jika tidak, kemungkinan terburuk akan menimpa mereka.
Setelah beberapa kali membentuk
barisan dan formasi. Kini saatnya mereka beristirahat sejenak. Pohon rindang di
pinggir lapangan sangat cocok untuk di jadikan tempat istirahat mereka sembari
duduk berselonjor.
“Ih..! gue janji,
kalau perlombaan nanti selesai, gue bakal keluar dari ekskul ini!” tandas Nina
salah satu dari mereka.
“Kenapa?” tanya
Ikta yang kebetulan satu ekskul pula dengan Careline.
“Loe gak ngerasain,
apa?? Latihan baris-berbaris yang terus-menerus, udah gitu cuacanya panas
banget, dahaga, bikin keringat di badan berkucuran.”
“Tapi kan,
bikin kita sehat? Berkeringat itu bagus, lho! Apalagi kalau di daerah wajah
kita selalu berkeringat, itu bisa menghilangkan jerawat.” terang Ikta panjang
lebar.
Mendengar pernyataan Ikta barusan,
Careline yang tengah meneguk air minum hampir tersendak di buatnya. Ia merasa
seperti ada angin segar di dalam dirinya.
“Masa?”
tanya Careline.
“Ya,
bener…kalau loe gak percaya buktiin aja! Gue baca info itu dari majalah, lho!”
Careline sedikit resah. ‘Buktikan
saja’ katanya? Lalu selama ini yang di lakukannya berhari-hari demi latihan
yang menguras keringat ke seluruh badan termasuk wajah itu, apa bukan namanya
bukti? Sudah termsuk bukti, bukan? Namun tetap saja jerawat bersemanyam di
wajah, pikir Careline.
“O…pantesan…ketiak
kita gak pernah jerawatan, berkeringat melulu….!” cela Nina menyeletuk.
Mereka pun sedikit terhibur
olehnya. Tetapi tidak dengan Careline, ia malah terdiam. Ia merasa Nina
memperoloknya, walaupun kenyataan tidak demikian. Entahlah! Ia tersinggung
saja.
Di antara temannya hanya wajah
Carelinelah yang berjerawat.
*
Seminggu
kemudian. Letih, lulai, capek, sangat di rasakan betul oleh Careline seusai
melakukan kewajibannya mengikuti lomba paskibra beberapa jam lalu. Kini ia pun
dengan santainya merebahkan tubuh ke tempat tidur di kamarnya sendiri. Tuntas
sudah tugas terberatnya, dan apa yang ia kerjakan bersama teman-temannya itu
sangat setimbang dengan hasil yang mereka peroleh. Karena mereka mendapatkan
juara harapan di perlombaan pakibra se-kota Cirebon
tersebut. Meskipun, hanya juara harapan, tidak masalah bagi mereka.
Dan dari situlah, temannya yang bernama Nina ingin terus
melanjutkan perjuangannya di ekskul paskibranya itu, begitu pula dengan
Careline. Ia akan tetap berada di ekskul paskibra, ingin membuktikan pula bahwa
keringat dapat mengilangkan jerawat yang pernah di katakan oleh Ikta. Mungkin
dengan terus berekskul paskibra yang selalu menguras keringat, jerawatnya akan
hilang perlahan-lahan, lenyap oleh keringat.
Sesaat kemudian,
Careline mengulurkan tangan ke samping untuk mengambil cemin berbentuk bulat
yang tergeletak di atas bantal. Ia pun mulai bercermin. Terlihat wajahnya
sangat kusam, beberapa hari belakangan ini wajahnya memang semakin kusam, dan
semakin kusam.
“Ga pa-pa! kan,
jadi juara harapan? Mau kusam atau gak? Yang penting, gak panuan!” seru
Careline dalam hati.
Selama ini, ia tetap berpegang pada
prinsip, ‘lebih baik jerawatan, daripada panuan’ itu.
Tak berselang lama, hanya beberapa
detik saja, dirinya baru menyadari akan sesuatu hal. Mataya kian membelalak,
menatap tajam wajahnya di cermin.
“Hah???”
ia mendesah hingga spontan tubuhnya terperanjat bangun.
Tidak percaya apa yang lihat tadi,
maka ia berlari menuju ke meja rias, melihat wajahnya lekat-lekat di situ.
“Argh…!!!
Gak Cuma kusam, jerawat, komedo, atau noda hitam saja yang bersemanyam di muka
gue ini!! Tetapi juga, panu…!!! Sejak kapan ada di muka gue….Arghh!!” teriak Careline
histeris melihat wajahnya demikian, Careline resah. Haruskah ia keluar dari
ekskulnya? Ataukah memulai kembali berkosmetik?
Menurutmu?
***
(Juni
2010)
Di
muat pada tanggal 21 Agustus 2010, Kabar Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar